Rabu, 19 November 2025

Murianews, Pati – Pemahaman kompleks manusia tentang Tuhan, yang seringkali diperumit oleh beragam sudut pandang, menjadi fokus utama dalam forum NgAllah Suluk Maleman yang digelar Sabtu (19/7/2025) di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Diskusi ini mencoba mengupas tuntas isu-isu filosofis dan teologis seputar kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadap Tuhan.

Anis Sholeh Ba'asyin, sebagai pembuka diskusi menggarisbawahi jika ateisme bukanlah fenomena baru.

”Dalam sejumlah teori, ditegaskan bahwa pada awalnya manusia percaya bahwa Tuhan adalah Esa. Kepercayaan ini, karena berbagai perkembangan budaya tertentu, kemudian bermetamorfosa menjadi kepercayaan terhadap dewa-dewa,” kata Anis.

Ia menambahkan, istilah ateis sendiri telah muncul di peradaban Yunani kuno. Namun, pada masa itu, istilah tersebut lebih merujuk pada kelompok atau bangsa yang memiliki konsep Tuhan berbeda dari kepercayaan orang Yunani.

Lebih lanjut, Anis menjelaskan jika bukan hanya ateisme yang sudah ada jauh sebelum era sains modern, tetapi juga masalah kebangkitan setelah kematian. Ia mengutip Al-Qur’an yang menceritakan episode Nabi Ibrahim bertanya langsung kepada Tuhan tentang kebangkitan manusia.

”Fakta bahwa ateisme dan ketidakpercayaan tentang kebangkitan setelah kematian sudah ada jauh sebelum sains berkembang, membuktikan bahwa tidak butuh sains untuk menjadi ateis atau tidak percaya tentang kehidupan setelah kematian. Dari sisi ini, pada dasarnya sains hanya dijadikan alat sofistifikasi bagi kepercayaan yang sudah lama ada," tegas Anis.

Dalam konteks ini, Anis membedakan epistemologi antara "ilmu" dan "sains" yang berkembang sejak masa pencerahan. Ia menjelaskan bahwa "ilmu" berkaitan dengan semesta lahir dan batin, sedangkan "sains" cenderung mempersempit fokus pada wilayah lahiriah semata.

Harus hati-hati... 

Membahas tentang Tuhan, Anis menekankan pentingnya kehati-hatian. Keberadaan Tuhan, menurutnya, bisa dilacak melalui ilmu tertentu, namun konsep "ada" pada Tuhan harus dipisahkan dari persepsi manusia yang terbatas.

Tuhan yang tak terbatas, tidak mungkin sepenuhnya dipahami dalam batasan persepsi manusia. Untuk memahami kehadiran aktual Tuhan, manusia membutuhkan mata hati atau intellectus, yang hanya dapat diaktifkan melalui pembersihan diri secara terus-menerus dari kemelekatan duniawi.

Budayawan asal Kudus Abdul Jalil turut menambahkan perspektifnya mengenai relasi antara sains dan agama.

Jalil menyoroti paham baru yang dianggapnya tidak kalah membahayakan, yaitu kelompok yang percaya pada Tuhan tetapi tidak menganggap agama penting.

”Banyak tokoh sosial, hingga aktivis yang seperti itu. Mereka jelas percaya pada Tuhan tapi menganggap agama tidak penting. Ibaratnya moral yes, spiritual yes, tapi agama no,” ungkap Jalil.

Diskusi dengan tema yang mendalam ini berhasil dicairkan dengan iringan musik Sampak GusUran. Ratusan masyarakat tampak antusias mengikuti jalannya diskusi, baik secara langsung di Rumah Adab Indonesia Mulia maupun melalui berbagai platform media sosial Suluk Maleman.

Komentar

Terpopuler