Di acara Suluk Maleman, Anis menambahkan diantara cara yang mudah untuk belajar memanusiakan manusia adalah dengan tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya ke pihak lain.
“Kalau tidak suka dipukul maka jangan memukul. Sampai nanti kamu pun tidak akan suka ngrasani karena juga tidak suka dirasani,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut Anis Sholeh Baasyin pun kembali mengingatkan tentang bencana kemanusiaan yang ada di Palestina; karena bila kita diam dan tak peduli, tak akan ada jaminan bahwa pada gilirannya kenyataan serupa mungkin pula menimpa kita.
Sutanto Mendut, budayawan sekaligus pendiri Komunitas Lima Gunung menambahkan di acara Suluk Maleman, juga menyebut, masih banyak ditemukan sistem yang tidak memanusiakan manusia. Khususnya bagi kalangan orangtua.
“Seperti jalanan itu tidak ramah lansia. Berbeda jika di luar negeri, pengendara motor akan mengalah pada orang yang lebih tua. Padahal kita punya Pancasila,” tambahnya.
Dia juga menceritakan pengalamannya untuk menemukan kedaulatan diri. Ini dia lakukan dengan memilih tinggal dan hidup bersama dengan orang desa, yang menurutnya masih menyisakan relasi autentik antar manusia; tanpa embel-embel kepentingan apa pun.
Murianews, Pati – Suluk Maleman edisi ke-156 pada Sabtu (21/12/2024) kembali memberikan ruang refleksi kemanusiaan yang mendalam. Dengan tema “Masih Manusiakah Kita?”, masyarakat diingatkan untuk tetap menjadi manusia ditengah kian carut marutnya peradaban.
Serbuan media sosial dan dunia digital kerapkali memiliki dampak negatif bila tak disikapi dengan baik. Peradaban yang semakin terhubung dan tanpa batas seringkali membuat orang terlupa akan sisi kemanusiaannya.
Dalam media sosial masyarakat kian mudah dibentur-benturkan. Bahkan tak jarang medsos dapat mengubah pola pikir. Tanpa diimbangi refleksi dan perenungan tentu sisi kemanusian seseorang akan menjadi mudah luntur.
“Dalam perubahan seperti ini masihkah ada ruang untuk merenung: apakah kita masih tetap manusia, atau sekadar alat produksi serta manipulasi global untuk kepentingan tertentu tanpa kita sadari,” ujar Anis Sholeh Baasyin, penggagas Suluk Maleman.
Anis menyebut, dalam Islam sendiri jelas mengajarkan shalat lima waktu sebagai ruang reflektif. Dia juga mengajak manusia untuk selalu mengingat kepada Allah.
“Karena siapa yang lupa pada Allah, maka akan dibuat lupa pula pada dirinya. Manusia yang tidak menggunakan hati untuk memahami, mata untuk melihat, dan telinga untuk mendengar itu lebih buruk dari ternak,” tambahnya di Suluk Maleman.
Dia menyebut, ternak merupakan binatang yang direkayasa sedemikian rupa agar menurut pada tuannya. Rekayasa yang akan menggerus kesadaran yang murninya yang merupakan akar bagi kedaulatannya.
“Dengan kesadaran murni sebagai manusia pun dalam keterhubungan dengan Allah, sumber asalnya; maka manusia tak akan pernah mudah terombang-ambingkan oleh apa-apapun termasuk bias kognitif dan banjir informasi di era medsos seperti sekarang,” imbuhnya.
Suluk Maleman...
Di acara Suluk Maleman, Anis menambahkan diantara cara yang mudah untuk belajar memanusiakan manusia adalah dengan tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya ke pihak lain.
“Kalau tidak suka dipukul maka jangan memukul. Sampai nanti kamu pun tidak akan suka ngrasani karena juga tidak suka dirasani,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut Anis Sholeh Baasyin pun kembali mengingatkan tentang bencana kemanusiaan yang ada di Palestina; karena bila kita diam dan tak peduli, tak akan ada jaminan bahwa pada gilirannya kenyataan serupa mungkin pula menimpa kita.
Sutanto Mendut, budayawan sekaligus pendiri Komunitas Lima Gunung menambahkan di acara Suluk Maleman, juga menyebut, masih banyak ditemukan sistem yang tidak memanusiakan manusia. Khususnya bagi kalangan orangtua.
“Seperti jalanan itu tidak ramah lansia. Berbeda jika di luar negeri, pengendara motor akan mengalah pada orang yang lebih tua. Padahal kita punya Pancasila,” tambahnya.
Dia juga menceritakan pengalamannya untuk menemukan kedaulatan diri. Ini dia lakukan dengan memilih tinggal dan hidup bersama dengan orang desa, yang menurutnya masih menyisakan relasi autentik antar manusia; tanpa embel-embel kepentingan apa pun.
Sisi Negatif...
Prof Agus Pramono asal Banten menambahkan ada sisi negatif dari perkembangan tehnologi seperti penggunaan gawai. Dia menyebut penggunaan gawai yang berkepanjangan memiliki dampak radiasi yang berdampak buruk pada perkembangan kognitif.
“Transisi ke revolusi 4.0 nantinya juga dapat mengancam. Banyak pekerjaan yang sudah dilakukan secara digital dan tidak lagi dilakukan manusia. Lahan pekerjaan akan semakin sulit, tenaga kerja akan tereduksi, dan hal itu akan berdampak hubungan antar manusia semakin jarang dan tidak butuh sosialisasi ataupun kerjasama,” tambahnya.
Untuk mengatasi itu, Kiai Nawawi Cholil asal Rembang mengingatkan pentingnya ilmu. Dia menyebut ilmu menjadi salah satu dari empat rizki yang Tuhan berikan. Selain itu hal terpenting adalah bagaimana manusia memiliki rasa.
“Ada empat rizki. Pertama adalah diberi ridha. Jika sudah mendapatkan ridhanya Allah pasti akan menjadi manusia yang paling manusia. Kemudian ilmu. Kalau punya ilmu juga akan menjadi manusia. Karena akan sombong kalau orang tidak mau belajar lagi. Meskipun sudah menganggap dirinya pintar,” ujarnya.
Sementara Dr. Abdul Jalil menambahkan salah satu cara untuk tetap menjadi manusia adalah dengan bertanya ke orang lain. Proses perenungan diperlukan untuk selalu menjadi pengingat.
“Meskipun bicara kemanusiaan, manusia selalu memiliki konsep yang berbeda-beda dan yang dianggapnya benar sendiri. Sekarang ini justru yang penting adalah bagaimana kemanusiaan pada tahun mendatang harus dilakukan. Generasi lama dan generasi muda sekarang ini harus banyak berembug bersama untuk menghadapi tantangan kemajuan tehnologi namun tidak meninggalkan kemanusiaan,” harapnya.
Topik yang menarik tersebut membuat ngaji budaya Suluk Maleman yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia kian hangat. Terlebih musik Sampak GusUran juga memeriahkan jalannya acara yang diikuti ratusan orang yang hadir langsung maupun melalui platform media sosial tersebut.