Batik ini banyak ditemukan di daerah pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Bakaran, Kabupaten Pati.
Dalam acara bincang ”Wastra Bercerita” yang digelar oleh Perhimpunan Wastraprema di Museum Tekstil Jakarta pada Sabtu (15/2/2025), sejarah batik pesisiran ini diungkap.
Ketua Umum Himpunan Wastraprema, Neneng Iskandar, menjelaskan sekitar abad ke-15 dan 16, para peranakan dari berbagai negara, seperti China, India, Belanda, dan Arab, mengembangkan busana khas mereka sendiri di Nusantara berupa sarung dan kebaya.
Menurutnya, perkembangan ini dipengaruhi oleh kemunduran produksi tekstil dari India, yang sebelumnya menjadi produsen kain terbesar yang dijual ke Pulau Jawa.
Murianews, Jakarta – Batik Pesisiran menjadi salah satu warisan budaya yang mencerminkan perpaduan budaya Indonesia dengan pengaruh asing.
Batik ini banyak ditemukan di daerah pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Lasem, dan Bakaran, Kabupaten Pati.
Berbeda dengan batik dari Solo dan Yogyakarta, Batik Pesisiran memiliki motif dan warna yang lebih beragam, mencerminkan akulturasi budaya yang terjadi sejak abad ke-15 dan 16.
Dalam acara bincang ”Wastra Bercerita” yang digelar oleh Perhimpunan Wastraprema di Museum Tekstil Jakarta pada Sabtu (15/2/2025), sejarah batik pesisiran ini diungkap.
Ketua Umum Himpunan Wastraprema, Neneng Iskandar, menjelaskan sekitar abad ke-15 dan 16, para peranakan dari berbagai negara, seperti China, India, Belanda, dan Arab, mengembangkan busana khas mereka sendiri di Nusantara berupa sarung dan kebaya.
”Dalam perkembangannya, kaum peranakan membutuhkan batik sendiri. Batik Pesisiran mulai berkembang sekitar abad ke-19 dan lebih diutamakan sebagai barang ekonomi yang diperdagangkan,” Ujar Neneng dikutip dari Antara.
Menurutnya, perkembangan ini dipengaruhi oleh kemunduran produksi tekstil dari India, yang sebelumnya menjadi produsen kain terbesar yang dijual ke Pulau Jawa.
Neneng juga menjelaskan, motif Batik Pesisiran sangat beragam karena mendapat pengaruh dari berbagai budaya di luar Jawa.
Pengaruh Asing...
Ciri khas Batik Pesisiran terlihat dari motif yang menjadi simbol akulturasi budaya Indonesia dengan budaya asing, seperti motif naga, kapal, kaligrafi, serta unsur-unsur lingkungan pesisir. Selain itu, budaya Sumatera juga ikut memengaruhi perkembangan batik ini.
Pada kesempatan yang sama, perancang busana Didi Budiardjo menambahkan, Batik Pesisiran umumnya dipadukan dengan kebaya peranakan, yaitu kebaya yang sering dikenakan oleh perempuan Eropa atau Tionghoa peranakan.
Menurutnya, kebaya peranakan semakin populer sebagai mode, meskipun penggunaannya masih kalah dibandingkan kebaya kuthu baru.
”Asimilasi budaya Tionghoa-Indonesia melahirkan kebaya peranakan yang terus berkembang tanpa meninggalkan pakem yang ada,” ujar Didi.
Didi menjelaskan, pada tahun 1930, kebaya encim atau kebaya peranakan sangat marak dengan beragam warna.
Namun, warna putih hanya dikenakan setelah kematian kerabat dekat karena dalam budaya Tionghoa, putih melambangkan ketiadaan atau kematian.
Awalnya, kebaya encim dikenal dengan sebutan kebaya nyonya, istilah yang dipopulerkan oleh masyarakat Tionghoa peranakan.
”Istilah kebaya encim digunakan secara umum oleh non-Tionghoa untuk menamai jenis kebaya yang dikenakan perempuan peranakan Tionghoa,” katanya.
Kekaisaran Tiongkok...
Lebih lanjut, Didi menjelaskan sejak tahun 1911, setelah runtuhnya Kekaisaran Tiongkok, masyarakat Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian orang Eropa Belanda.
Pada saat itu, para noni Belanda mengenakan kebaya berbahan katun tipis dengan potongan pendek, bukan kebaya bangsawan dari sutera mewah.
Inspirasi ini kemudian dimodifikasi oleh perempuan Tionghoa peranakan dengan menambahkan potongan, bahan, warna, border, dan aksesori khas mereka.