Rabu, 19 November 2025

Menurut mereka, rekomendasi Bawaslu tidak mengikat secara hukum, tidak memiliki kekuatan eksekutorial, dan daya paksa.

Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang menerima rekomendasi seringkali tidak menjalankan isi rekomendasi Bawaslu, yang kemudian menjadi permasalahan dalam setiap Pilkada sejak tahun 2018, 2020, hingga 2024.

Para pemohon menyoroti perbedaan kewenangan Bawaslu antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.

Undang-Undang Pemilu memberikan kewenangan penuh kepada Bawaslu untuk memutus pelanggaran administrasi (Pasal 461 UU Pemilu), namun UU Pilkada mereduksi peran Bawaslu menjadi hanya pemberi rekomendasi, dengan keputusan akhir tetap di tangan KPU.

Perbedaan ekstrem ini dinilai jauh dari semangat putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang menyamakan kedudukan pengawas pemilu dan pilkada.

Para pemohon berpendapat bahwa kewenangan Bawaslu dalam pemilu seharusnya berlaku secara mutatis mutandis pada pilkada.

Para Pemohon berharap, MK sebagai ”the guardian of democracy” dapat mengembalikan kewenangan Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada sebagaimana mestinya, sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan proses pemilihan kepala daerah di masa depan.

Komentar