Piutang Pajak PBB di Jepara Tembus Rp 24 Miliar, Ini Penyebabnya
Faqih Mansur Hidayat
Jumat, 22 Maret 2024 15:35:00
Murianews, Jepara – Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mencatat masih ada piutang pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBBP2). Nilainya bahkan tembus Rp 24 miliar.
Kepala BKAD Kabupaten Jepara, Florentina Budi Kurniawan menyebutkan, piutang tersebut terhitung sejak tahun 2022 lalu. Padahal, setiap terjadi keterlambatan pembayaran, pihaknya telah melayangkan surat kepada masing-masing wajib pajak.
”Kami hitung-hitung, totalnya (piutang) sejak tahun 2022 sampai sekarang Rp 24 miliar,” kata Florentina kepada Murianews.com, Jumat (22/3/2024).
Menurutnya, ada berbagai hal yang mengakibatkan nilai piutang begitu besar. Sebagian wajib pajak abai dengan kewajiban mereka. Lalu, uang pajak yang terkumpul berhenti di tingkat pemerintah desa selama beberapa waktu atau bahkan tak disetorkan ke BPKAD.
Diketahui, beberapa waktu lalu muncul kasus uang pajak PBBP2 digelapkan oleh oknum perangkat desa. Masalah inilah, kata Florentina, yang menyebabkan sebagian wajib pajak malas bayar pajak karena kecewa dengan aparat pemerintah yang nakal.
“Kadang, ada juga yang tanahnya di sini, orangnya tinggal di luar kota. Sehingga terabaikan pembayarannya,” ungkap Florentina.
Masalah-masalah tersebutlah yang membuat realisasi target penarikan pajak PBBP2 setiap tahun susah tercapai. Misalnya di tahun 2023 lalu, dari target Rp 324 miliar, sampai akhir tahun hanya mampu terealisasi Rp 180 miliar.
”Tetapi tahun ini kita akan genjot pencapaian,” tegas Florentina.
Menurut Florentina, upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah kebocoran-kebocoran yakni dengan melaksanakan pembayaran PBBP2 dengan sistem nontunai. Sehingga, uang yang dibayar dari wajib pajak bisa langsung sampai ke BPKAD.
Masalahnya, ungkap Florentina, sampai saat ini dia menilai pembayaran PBBP2 dengan cara nontunai tampaknya belum bisa dilaksanakan sampai ke tingkat desa. Dia melihat kesiapan desa-desa terkait digitalisasi belum maksimal.
“Kalau memungkinkan, kita baru bisa melaksanakannya (transaksi nontunai) di tingkat kecamatan,” pungkas Florentina.
Editor: Dani Agus



