Air laut yang asin itu bermuara dari Bendung Bompes di Desa Gerdu, Kecamatan Pecangaan yang mengalami kebocoran. Karet bendungan saat ini rusak.
Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Jepara yang bersumber dari laporan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), ada empat kecamatan yang terdampak dengan luasan sawah berbeda-beda.
Empat kecamatan tersebut yakni di Kecamatan Kalinyamatan seluas 569 hektare, Kecamatan Welahan sebanyak 298 hektare, Kecamatan Pecangaan seluas 98 hektare dan 40 hektare di Kecamatan Kedung.
Salah satu petani di Desa Sidigede, Kecamatan Welahan, Saifudin (42) menyebut, sejak 20 hari terakhir air laut mengalir ke sawah warga. Mulanya, sawah warga yang kesulitan mendapatkan air karena musim kemarau.
Pada saat bersamaan, para petani melihat keanehan air di sungai yang muncul buih. Setelah dicek, sungai itu sudah tercemar air laut. Akhirnya, para petani gotong royong membendung sungai agar tak meluap ke area sawah mereka.
”Sawahnya kami biarkan kering. Supaya tidak kena air asin. Biar tidak mati. Tapi dampaknya jadi banyak rumput,” kata Saifudin.
Para petani kini bisa sedikit bernapas lega. Pasalnya, selama sepekan terakhir di Kabupaten Jepara turun hujan lebat. Sehingga mereka tak perlu lagi mengalirkan air dari sungai ke sawah mereka.
Murianews, Jepara – Nasib para petani di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jateng) sedang apes. Betapa tidak, sawah yang ditanami jagung maupun padi, tiba-tiba teraliri air laut.
Air laut yang asin itu bermuara dari Bendung Bompes di Desa Gerdu, Kecamatan Pecangaan yang mengalami kebocoran. Karet bendungan saat ini rusak.
Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Jepara yang bersumber dari laporan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), ada empat kecamatan yang terdampak dengan luasan sawah berbeda-beda.
Empat kecamatan tersebut yakni di Kecamatan Kalinyamatan seluas 569 hektare, Kecamatan Welahan sebanyak 298 hektare, Kecamatan Pecangaan seluas 98 hektare dan 40 hektare di Kecamatan Kedung.
Salah satu petani di Desa Sidigede, Kecamatan Welahan, Saifudin (42) menyebut, sejak 20 hari terakhir air laut mengalir ke sawah warga. Mulanya, sawah warga yang kesulitan mendapatkan air karena musim kemarau.
Pada saat bersamaan, para petani melihat keanehan air di sungai yang muncul buih. Setelah dicek, sungai itu sudah tercemar air laut. Akhirnya, para petani gotong royong membendung sungai agar tak meluap ke area sawah mereka.
”Sawahnya kami biarkan kering. Supaya tidak kena air asin. Biar tidak mati. Tapi dampaknya jadi banyak rumput,” kata Saifudin.
Para petani kini bisa sedikit bernapas lega. Pasalnya, selama sepekan terakhir di Kabupaten Jepara turun hujan lebat. Sehingga mereka tak perlu lagi mengalirkan air dari sungai ke sawah mereka.
Di Ujung Tanduk...
Namun bila sudah tak hujan lagi, mereka akan kembali bingung. Sebab karet bendungan di Bendung Bompes masih rusak. Sedangkan para petani masih bergantung pada aliran dari Bendung Bompes yang mengalir ke Sungai SWD II untuk sawahnya.
Terpisah, Kabid Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan pada DKPP, Anisah Salmah mengungkapkan, masalah kerusakan itu rupanya sudah terjadi sejak tahun 2024 lalu. Kebocoran sempat ditambal. Namun kembali rusak dan kini semakin parah bahkan rusak total.
”Bocornya sejak tahun lalu atau mungkin sebelumnya. Sudah sempat ditangani. Tapi sekarang robek berat dan sudah tidak bisa ditambal. Sehingga air laut masuk ke lahan pertanian,” jelas Anisah, Senin (27/10/2025).
Sejak September 2025 lalu, Anisah sudah mendapatkan laporan dari PPL terkait lahan sawah yang terdampak. Terutama di wilayah Jepara selatan.
”Total ada 1.032 hektare yang terdampak. Dampaknya tanaman padi bisa terancam gagal panen atau puso,” kata dia.
Untuk mengatasi kebocoran itu, pihaknya sudah melaporkan kepada Dirjen Tanaman Pangan, Direktorat Hilirisasu Hasil Tanaman Pangan di Kementerian Pertanian. Pihak Kementerian kemudian berkoordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai BBWS) Pemali Juwana.
”Informasinya karet bendungan akan diganti. Masuk anggaran tahun 2027. Tapi karena kondisinya mendesak, pihak Kementerian mendesak BBWS agar bisa ditangani tahun 2026,” tandas Anisah.
Editor: Supriyadi