Kamis, 20 November 2025

Murianews, Blora – Keputusan yang nekat dilakukan Adi Latif Marshudi, pemuda asal Desa Ngiyono, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Pria 27 tahun itu, nekat meninggalkan pekerjaan dengan gaji puluhan juta di Korea Selatan demi menjadi petani di desanya.

Kisahnya, dimulai dari saat ia lulus dari SMK Pelita Harapan. Saat itu, ia mencoba mencoba mendaftar Lembaga Pelatihan Kerja Korea Selatan. Mulanya, ia mendaftar hanya untuk mengisi waktu untuk belajar.

Setelah sebulan mengikuti pelatihan, ia kemudian mencoba menata hidupnya dan tertarik untuk kuliah. Karena faktor ekonomi keluarga, Adi kemudian menjajal program beasiswa. Langkahnya pun mujur.

Sayang, saat itu ia terhalang restu orang tua. Mereka tak mengizinkan Adi untuk kuliah karena khawatir ada biaya lainnya.

Adi kemudian melupakan mimpinya meraih gelar sarjana. Ia kemudian mencoba mendatar untuk bekerja di Korea Selatan.

Pada 2015 lalu, ia melanjutkan kursus bahasa korea. Setelah lulus selama setahun kursus, Adi tak langsung diberangkatkan.

”Selama masa penundaan itu, saya mendapatkan kepercayaan dari lembaga kursus tersebut untuk mengelola asrama, koperasi, jadi tukang panen ayam, hingga diangkat jadi staf kantor,” katanya.

Tak lama kemudian, ia diberangkatkan tanpa dipungut biaya. Padahal, sebelumnya Adi sudah mengumpulkan penghasilannya untuk ke Korea.

“Itu dulu harusnya bayar Rp 35 juta sampai Rp 40 juta. Saya sudah nabung itu, ternyata digratiskan. Alhamdulillah, akhirnya berangkat ke korea,” jelasnya.

Setelah di sana, Adi ternyata tak langsung mendapatkan pekerjaan. Ia harus melamar kerja di lima perusahaan. Ketika itu, tak satu pun perusahaan yang dituju menerimanya.

Adi kemudian, mencoba melamar pekerjaan di salah satu pabrik material pembuatan suku cadang LG di Korea. Dari pekerjaan itu, ia mendapatkan gaji Rp 30 juta.

Selain bekerja, Adi juga kuliah di sebuah Universitas Terbuka yang bekerja sama dengan Yeungnam University. Tak hanya itu, ia juga bisa melaksanakan ibadah Haji saat di Korea Selatan.

”Waktu kerja di pabrik itu gajinya Rp 30 juta. Hidup disana sebenarnya sudah cukup. Kuliah juga sudah beres. Sampai-sampai bisa keturutan naik haji 2023 kemarin, sebelum umur 30 tahun,” ucapnya.

Setelah lima tahun, Adi kemudian tertarik merintis usaha di bidang pertanian di desanya. Sebab, ia percaya kebangkitan ekonomi Indonesia berawal dari bawah atau desa.

Mulanya, ia khawatir dengan keputusannya itu. Ia takut tidak bisa lagi bekerja atau penghasilannya minum.

”Namun, saat pergi haji itu tiba-tiba saya kepikiran dan terarahkan untuk pulang ke Blora untuk kembangkan pertanian dan perekonomian di desa saya. Akhirnya Juli 2023 lalu saya dirikan agrowisata ini,” imbuhnya.

Adi akhirnya pulang dan mendirikan agrowisata, Agrowisata Petik Buah Girli Smart Ecosystem Farming di desanya. Ia harus merogoh kocek Rp 700 juta lebih yang diambil dari jerih payahnya di Korea.

”Saya sudah nabung modal sejak dulu. Akhirnya saya dirikan ini. Biaya greenhouse dan lainnya lebih dari Rp 700 juta,” terangnya.

Dengan dana itu, ia mendirikan dua greenhouse yang ditanami melon dengan sistem hidroponik. Metode pertanian hidroponik itu pun dia pelajari selama di Korea.

Adi memilih melon sebagai usaha agrowisatanya. Menurutnya, perawatan melon tak terlalu rumit dan dapat dipanen setiap dua bulan sekali. Beberapa jenis melon yang dikembangkannya, yakni jenis new kinanti, camoe, kirani, dan intanun.

Selain melon, ia juga mulai mengembangkan tanaman buah-buahan lainnya. Yakni, alpukat, durian, dan stroberi. Tak hanya itu, Adi juga mengembangkan budidaya ikan lele dan nila.

Adi mengungkapkan, untuk sekali panen omzet pertaniannya mencapai Rp 20 juta – Rp 35 juta. Saat ini, ia menargetkan untuk memasarkan hasil panennya ke supermarket.

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler