Acara kemudian berlanjut dengan kembalinya rombongan ke Pendopo Pengayoman, masih berjalan kaki tanpa alas.
Gunretno menjelaskan, kirab cemani ini akan dipatenkan untuk dilaksanakan setiap tahun saat peringatan Suro. Ayam cemani berwarna hitam melambangkan pakaian Mbah Samin dan anak cucunya yang dikenal satu warna, sebagai perlambang kesederhanaan, keabadian, dan kelanggengan.
”Kirab cemani kami lakukan dua kali ini. Yang pertama tahun lalu. Ini akan kami patenkan tiap Suro. Namun waktunya, menyesuaikan. Karena saat Suro Sedulur Sikep pada laku. Sehingga kami berembuk, longgarnya kapan, nah baru ditentukan dan dilakukan di punden Surondiko sini,” jelas Gunretno.
Ia menambahkan, seluruh rangkaian kegiatan ini, mulai dari brokohan, kirab cemani, hingga bedah bakale bocah, merupakan upaya untuk melestarikan laku (perilaku) dan nilai-nilai. Tujuannya adalah untuk mengajarkan anak cucu Sedulur Sikep tentang laku hidup.
”Ini proses tentang kehidupan. Orang harus tahu kita ini ada dari mana dan akan ke mana. Kita harus menghormati bumi yang kita pijak ini. Sing diisingi, diuyohi, nanging maringi panguripan (yang diinjak, dikencingi, namun memberi kehidupan),” paparnya.
”Ini bentuk penghormatan perjuangan Mbah yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda. Ada foto-fotonya. Mereka para pejuang, pahlawan. Maka ini harus diceritakan ke anak cucu maka ini harus kita pasang foto-foto yang diasingkan,” katanya.
Ia menyebutkan ada sembilan tokoh yang diasingkan, namun dalam acara tersebut baru enam yang disebutkan, di antaranya Mbah Samin Surondiko, Kartogolo, dan Sani.
Murianews, Blora – Dalam rangka memperingati Hari Suro, komunitas Sedulur Sikep dari berbagai daerah menggelar serangkaian tradisi unik, mulai dari kirab cemani hingga pagelaran wayang semalam suntuk.
Acara yang berlangsung di Pendopo Pengayoman, Dukuh Plosokediren, Randublatung, Blora, ini dimulai pada Rabu (2/7/2025) malam hingga Kamis (3/7/2025) dini hari.
Sejak pukul 20.00 WIB, para Sedulur Sikep, mengenakan pakaian khas Samin berwarna hitam-hitam, berkumpul di lokasi.
Mereka kemudian menyalakan obor dan berjalan beriringan tanpa alas kaki menuju punden Samin Surosentiko, atau yang juga dikenal dengan Samin Surondiko oleh tokoh Sedulur Sikep Samin, Gunretno.
Dalam iring-iringan tersebut, seekor ayam cemani berwarna hitam turut dibawa dalam rombongan. Ayam itu ditempatkan dalam wadah berbentuk rumah sederhana dari bambu dengan atap janur, kemudian dikirab dengan cara dipikul oleh empat orang Sedulur Sikep.
Di bagian depan iring-iringan, seorang penari perempuan tampil seolah membuka jalan, diikuti oleh deretan perempuan berbusana putih yang seolah membopong anak.
Setibanya di punden, rombongan mengitari area tersebut, kemudian kelompok perempuan mengelilingi pohon yang dianggap sebagai perwujudan punden.
Ritual di punden ditutup dengan pelepasan ayam cemani di sekitar lokasi, setelah Gunretno menyampaikan pemaknaan kirab cemani.
Pendopo pengayom...
Acara kemudian berlanjut dengan kembalinya rombongan ke Pendopo Pengayoman, masih berjalan kaki tanpa alas.
Sesampainya di pendopo, Sedulur Sikep menggelar tradisi brokohan sebelum menikmati pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh Ki Sigid Ariyanto dengan lakon ”Wahyu Sri Cemani.”
Gunretno menjelaskan, kirab cemani ini akan dipatenkan untuk dilaksanakan setiap tahun saat peringatan Suro. Ayam cemani berwarna hitam melambangkan pakaian Mbah Samin dan anak cucunya yang dikenal satu warna, sebagai perlambang kesederhanaan, keabadian, dan kelanggengan.
”Kirab cemani kami lakukan dua kali ini. Yang pertama tahun lalu. Ini akan kami patenkan tiap Suro. Namun waktunya, menyesuaikan. Karena saat Suro Sedulur Sikep pada laku. Sehingga kami berembuk, longgarnya kapan, nah baru ditentukan dan dilakukan di punden Surondiko sini,” jelas Gunretno.
Ia menambahkan, seluruh rangkaian kegiatan ini, mulai dari brokohan, kirab cemani, hingga bedah bakale bocah, merupakan upaya untuk melestarikan laku (perilaku) dan nilai-nilai. Tujuannya adalah untuk mengajarkan anak cucu Sedulur Sikep tentang laku hidup.
”Ini proses tentang kehidupan. Orang harus tahu kita ini ada dari mana dan akan ke mana. Kita harus menghormati bumi yang kita pijak ini. Sing diisingi, diuyohi, nanging maringi panguripan (yang diinjak, dikencingi, namun memberi kehidupan),” paparnya.
Dalam acara tersebut juga ditampilkan foto-foto tokoh Sedulur Sikep yang diasingkan pada masa kolonial Belanda, sebagai bentuk penghormatan.
”Ini bentuk penghormatan perjuangan Mbah yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda. Ada foto-fotonya. Mereka para pejuang, pahlawan. Maka ini harus diceritakan ke anak cucu maka ini harus kita pasang foto-foto yang diasingkan,” katanya.
Ia menyebutkan ada sembilan tokoh yang diasingkan, namun dalam acara tersebut baru enam yang disebutkan, di antaranya Mbah Samin Surondiko, Kartogolo, dan Sani.
Bupati Blora...
Bupati Blora, Arief Rohman, yang turut hadir dalam acara tersebut, mengapresiasi upaya pelestarian kebudayaan yang dilakukan oleh Sedulur Sikep.
”Saya atas nama Pemkab Blora apresiasi upaya menguri-uri kebudayaan yang dilakukan masyarakat dan Mas Gunretno. Semua guyub rukun,” tuturnya.
Menurut Bupati, acara rutin tahunan yang dilakukan setiap Suro ini tidak hanya melestarikan tradisi tetapi juga memberikan inspirasi dan semangat bagi masyarakat Blora dan sekitarnya, khususnya bagi Sedulur Sikep.
”Kami terus mendukung upaya pelestarian kebudayaan,” tambahnya.
Editor: Cholis Anwar