Rabu, 19 November 2025

Acara kemudian berlanjut dengan kembalinya rombongan ke Pendopo Pengayoman, masih berjalan kaki tanpa alas.

Sesampainya di pendopo, Sedulur Sikep menggelar tradisi brokohan sebelum menikmati pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh Ki Sigid Ariyanto dengan lakon ”Wahyu Sri Cemani.”

Gunretno menjelaskan, kirab cemani ini akan dipatenkan untuk dilaksanakan setiap tahun saat peringatan Suro. Ayam cemani berwarna hitam melambangkan pakaian Mbah Samin dan anak cucunya yang dikenal satu warna, sebagai perlambang kesederhanaan, keabadian, dan kelanggengan.

”Kirab cemani kami lakukan dua kali ini. Yang pertama tahun lalu. Ini akan kami patenkan tiap Suro. Namun waktunya, menyesuaikan. Karena saat Suro Sedulur Sikep pada laku. Sehingga kami berembuk, longgarnya kapan, nah baru ditentukan dan dilakukan di punden Surondiko sini,” jelas Gunretno.

Ia menambahkan, seluruh rangkaian kegiatan ini, mulai dari brokohan, kirab cemani, hingga bedah bakale bocah, merupakan upaya untuk melestarikan laku (perilaku) dan nilai-nilai. Tujuannya adalah untuk mengajarkan anak cucu Sedulur Sikep tentang laku hidup.

”Ini proses tentang kehidupan. Orang harus tahu kita ini ada dari mana dan akan ke mana. Kita harus menghormati bumi yang kita pijak ini. Sing diisingi, diuyohi, nanging maringi panguripan (yang diinjak, dikencingi, namun memberi kehidupan),” paparnya.

Dalam acara tersebut juga ditampilkan foto-foto tokoh Sedulur Sikep yang diasingkan pada masa kolonial Belanda, sebagai bentuk penghormatan.

”Ini bentuk penghormatan perjuangan Mbah yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda. Ada foto-fotonya. Mereka para pejuang, pahlawan. Maka ini harus diceritakan ke anak cucu maka ini harus kita pasang foto-foto yang diasingkan,” katanya.

Ia menyebutkan ada sembilan tokoh yang diasingkan, namun dalam acara tersebut baru enam yang disebutkan, di antaranya Mbah Samin Surondiko, Kartogolo, dan Sani.

Bupati Blora...

Komentar