Rabu, 19 November 2025

Murianews, Jakarta – Polemik Presiden Joko Widodo (Jokowi) memihak pada salah satu Capres-Cawapres telah menyedot perhatian masyarakat.

Saat Penyerahan Pesawat C130J-30 Super Hercules, AS 550 Fennec & AS 565 Panther di Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024), Jokowi menegaskan, presiden boleh memihak dan berkampanye.

”Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh lho kampanye, boleh lho memihak. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh. Kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik, boleh menteri juga boleh,” katanya seperti dikutip dari kanal YouTube Airmen TV Dispenau.

Lantas bagaimana penjelasannya?

Dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik. Artinya, seluruh warga negara, termasuk presiden memiliki hak memilih presiden dan wakil presiden.

Melansir dari Hukum Online, Pasal 43 ayat (1) UU HAM juga menjamin setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum (Pemilu).

Namun, yang perlu dicatat dalam konteks Pemilu, seharusnya seorang presiden menunjukkan sikap netral atau tidak mendukung pihak manapun. Ini bertujuan, agar proses pemilihan dapat berjalan demokratis, jujur, dan adil.

Itu karena presiden memiliki peran sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara sesuai dengan mandat konstitusi. Dengan begitu dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan untuk memenangkan calon tertentu.

Penekanan netralitas presiden ini juga termaktub dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Sebagai contoh, Pasal 48 ayat (1) huruf b UU Pemilu.

Di mana, pasal itu menyebutkan KPU harus melaporkan pelaksanaan seluruh tahapan pemilu dan tugas-tugas lainnya kepada DPR dan presiden.

Selanjutnya, di Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu mengatur presiden memiliki peran dalam membentuk tim seleksi untuk menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada DPR.

Oleh karenanya, presiden diharapkan untuk tetap bersikap netral selama seluruh proses pemilu.

Kewenangan presiden juga diatur dalam UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di mana, dalam Pasal 17 ayat (2) menjelaskan tentang penggunaan wewenang presiden yang berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam konteks pemilihan umum dapat dianggap sebagai pencampuran wewenang.

Ini sama dengan bila tindakan mencampuradukkan wewenang yang dilakukan badan atau pejabat pemerintahan di luar ruang lingkup bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan.

Bila tindakan presiden tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, itu dapat dianggap sebagai tindakan melampaui wewenang.

Hanya saja, keputusan atau tindakan yang dianggap melampaui wewenang, serta tindakan yang dilakukan atau ditetapkan secara sewenang-wenang, akan dianggap tidak sah apabila telah melewati proses pengujian di pengadilan dan memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Tidak sah dalam konteks ini merujuk pada status keputusan atau tindakan yang diambil atau ditetapkan oleh lembaga atau pejabat pemerintahan yang tidak memiliki kewenangan, sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan ke keadaan sebelum keputusan atau tindakan tersebut diambil. Semua konsekuensi hukum yang muncul dari keputusan atau tindakan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Sementara, tindakan mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan melalui proses pengujian pejabat yang lebih tinggi atau melalui proses peradilan setelah melewati pengujian dan mendapatkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Dalam konteks ini, “dibatalkan” merujuk pada pembatalan keputusan atau tindakan setelah melewati proses pengujian yang sah, baik oleh pejabat yang berwenang atau melalui keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Komentar