Berdasarkan penelitian Indra Krishnamurti dan Muhammad Diheim Biru dari Center for Indonesia Policy Studies menyebutkan, ada anomaly dalam pelaksanaan penanaman padi hibrida.
Di mana, padi hibrida mayoritas berhasil diterapkan di sejumlah negara. Sementara di Indonesia, justru kebalikannya.
Di tahun pertama sejak diperkenalkan di Indonesia, tak banyak petani mengadopsi padi hibrida. Padi hibrida baru digunakan di tahun 2006 dan 2009 setelah pemerintah memberi subsidi benih.
Penggunaannya pun mengalami kenaikan 5,2 persen dar luas total tanam padi. Namun, setelahnya, pertumbuhannya mandek dan terus menurun. Bahkan, pada 2017, padi hibrida hanya memiliki luas 0,4 persen dari area tanam padi keseluruhan.
Penelitian Center for Indonesian Policy Studies menjelaskan ada beberapa alasan yang membuat penerapan padi hibrida terus menurun.
Minimnya penyediaan benih, kerentanan terhadap penyakit, harga benih mahal, kurangnya keterampilan, dan ketidaksesuaian tekstur nasi dengan lidah masyarakat Indonesia menjadi sebabnya.
Murianews, Jakarta – Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan meminta China melakukan transfer teknologi pertanian di Indonesia, salah satunya teknologi pembibitan padi.
Permintaan itu dilakukan karena Negeri Tirai Bambu itu telah sukses mencapai swasembara beras. Keberhasilan itu, salah satunya berkat inovasi padi hibrida.
Perlu diketahui, padi hibrida merupakan varietas unggulan karena mampu menghasilkan panen dua kali lipat dari biasanya. Inovasi ini ditemukan Yuan Longping pada 1962.
Sejarah membuktikan temuan Yuan Longping menjadi terobosan baru dan mampu membuat China serta negara lain yang menggunakan benih temuannya itu mengalami peningkatan produksi pangan.
Bahkan, berkat padi hibrida temuan Yuan Longping, China berhasil bebas dari bencana kelaparan yang pernah melanda saat itu.
Hanya saja, kesuksesan padi hibrida di China menemui jalan terjal saat diterapkan di Indonesia. Meski sudah ditemukan sejak 1960-an, varietas ini baru diperkenalkan di Indonesia pada 2003 lalu.
Berdasarkan penelitian Indra Krishnamurti dan Muhammad Diheim Biru dari Center for Indonesia Policy Studies menyebutkan, ada anomaly dalam pelaksanaan penanaman padi hibrida.
Di mana, padi hibrida mayoritas berhasil diterapkan di sejumlah negara. Sementara di Indonesia, justru kebalikannya.
Di tahun pertama sejak diperkenalkan di Indonesia, tak banyak petani mengadopsi padi hibrida. Padi hibrida baru digunakan di tahun 2006 dan 2009 setelah pemerintah memberi subsidi benih.
Penggunaannya pun mengalami kenaikan 5,2 persen dar luas total tanam padi. Namun, setelahnya, pertumbuhannya mandek dan terus menurun. Bahkan, pada 2017, padi hibrida hanya memiliki luas 0,4 persen dari area tanam padi keseluruhan.
Penelitian Center for Indonesian Policy Studies menjelaskan ada beberapa alasan yang membuat penerapan padi hibrida terus menurun.
Minimnya penyediaan benih, kerentanan terhadap penyakit, harga benih mahal, kurangnya keterampilan, dan ketidaksesuaian tekstur nasi dengan lidah masyarakat Indonesia menjadi sebabnya.
Menurut riset, penyediaan benih itu hanya cocok untuk lidah masyarakat Jawa, di mana orang Jawa memang suka nasi yang pulen.
Berbeda dengan orang luar Jawa yang suka nasi pera. Masalahnya, pada tahun-tahun awal padi hibrida, bibit hibrida hanya menyediakan nasi pulen, bukan nasi pera.
”Dengan keragaman selera tersebut, jelas bahwa diperlukan berbagai macam benih padi, dan tidak ada satu jenis benih yang bisa memenuhi semua permintaan,” ungkap Indra Krishnamurti dan Muhammad Diheim Biru dari Center for Indonesian Policy Studies, seperti dikutip dari CNBC.
Meski begitu, semua lahan di Bali dan Lombok yang ditanam padi hibrida justru menuai hasil positif. Petani di sana, mengaku puas dengan padi hibrida.
Mereka pun mengaku mendapatkan keuntungan saat panen karena padi hibrida mampu membuat produksi panen melomjak dua kali lipat.
Sampai saat ini, pemerintah terus melakukan pembenahan untuk menggenjot padi hibrida. Hasilnya sudah berjalan baik dibanding ketika awal berlangsung.
”Pengembangan padi hibrida di Indonesia sudah berjalan, dan varietas yang tersedia saat ini jauh lebih baik daripada yang paling awal, dalam hal produktivitas, ketahanan terhadap penyakit, cuaca, dan rasa/tekstur. Namun, padi hibrida belum diterima secara luas,” demikian kesimpulan riset tersebut.
Sementara itu, Peneliti Balai Besar Padi Kementerian Pertanian, Sukamadi pernah mengungkapkan adopsi teknologi padi hibrida di Indonesia masih rendah.
Di mana, pada kurun waktu 2013-2017, adopsi penggunaannya masih di bawah 5 persen. Menurutnya, pengembangan padi hibrida sangat tergantung dari permintaan pasar.
Ia menilai, ada beberapa faktor yang membuat banyak petani di Indonesia enggan menggunakan padi hibrida. Salah satunya yakni, proses produksi benih padi yang rumit, serta produksi benih padi yang melibatkan galur mandul jantan.
Proses ini secara alamiah memiliki rendemen benih lebih rendah dibandingkan padi normal, yaitu sekitar 1,5 ton per hektare (ha). Akibatnya, harga benih padi hibrida lebih mahal dibandingkan dengan benih padi Inbrida.
Karena itu lah, ketersediaan benih hibrida di toko pertanian menjadi terbatas akibat terbatasnya jumlah produsen atau penangkar benih. Selain itu, produktivitas varietas unggul yang memberikan keunggulan heterosis sekitar 10 persen dibandingkan padi inbrida. Padahal pada tingkat penelitian dan pengkajian angkanya bisa mencapai 15-20 persen.