Dalam webinar bertajuk ’’Agenda Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia’’, Zulfikar menyebut model tersebut merupakan ilmu dari Perludem.
’’Saya sudah bilang, itu model (pemilu) nasional dan lokal. Ini kan ilmunya Perludem,’’ ujar Zulfikar dikutip dari Antara, Senin (9/12/2024).
Ia mengatakan, di tingkat daerah, masyarakat tak lagi hanya memilih kepala daerah, tapi juga DPRD.
Kemudian setidaknya ada jeda setengah tahun adau dua tahun berikutnya baru pemilihan tingkat provinsi, yakni memilih DPRD Provinsi dan Gubernur-Wakil Gubernur.
Terakhir, setelah jeda dua tahun baru masyarakat memilih tingkat nasional, yakni DPR RI, DPD RI, dan Presiden-Wakil Presiden.
Murianews, Jakarta – Pemilu dan Pilkada diusulkan untuk dijeda dua tahun. Usulan itu datang dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin.
Dalam webinar bertajuk ’’Agenda Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia’’, Zulfikar menyebut model tersebut merupakan ilmu dari Perludem.
’’Saya sudah bilang, itu model (pemilu) nasional dan lokal. Ini kan ilmunya Perludem,’’ ujar Zulfikar dikutip dari Antara, Senin (9/12/2024).
Ia mengatakan, di tingkat daerah, masyarakat tak lagi hanya memilih kepala daerah, tapi juga DPRD.
Zulfikar kemudian membagi pemilu menjadi tiga babak, lokal, daerah, dan nasional. Di babak lokal, masyarakat memilih DPRD Kabupaten/kota dan bupati/wali kota serta wakilnya.
Kemudian setidaknya ada jeda setengah tahun adau dua tahun berikutnya baru pemilihan tingkat provinsi, yakni memilih DPRD Provinsi dan Gubernur-Wakil Gubernur.
Terakhir, setelah jeda dua tahun baru masyarakat memilih tingkat nasional, yakni DPR RI, DPD RI, dan Presiden-Wakil Presiden.
Dengan skema itu, Zulfikar yakni dapat menghapus perdebatan apakah KPU dan Bawaslu akan menjadi lembaga ad hoc atau tetap menjadi lembaga permanen.
Partisipasi Masyarakat Jeblok...
’’Nanti KPU dan Bawaslu akan ada pekerjaan terus, jadi tidak lagi kita bicara dia ad hoc atau tetap, jadinya sudah tetap,’’ kata Zulfikar.
Diketahui, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di tahun yang sama diyakini berbagai pemangku kepentingan dan pemerhati pemilu sebagai salah satu penyebab turunnya partisipasi pemilih.
Penurunan partisipasi masyarakat terlihat pada perbandingan antara hak pilih yang digunakan pada Pemilu 2024 dengan Pilkada 2024.
Pada Rabu (5/6/2024), KPU RI mengungkapkan 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilih pada Pilpres 2024, kemudian sebanyak 81,42 persen untuk Pemilu Anggota DPR RI, dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI.
Sedangkan, untuk rata-rata nasional partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 langsung jeblok, yakni hanya mencapai 68 persen.
Pembagian babak pemilu ini juga disarankan Pakar kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini. Secara aktif, ia mendorong untuk membagi keserentakan pemilihan menjadi dua kategori, yakni tingkat nasional dan daerah.
Titi juga menyarankan agar kedua pemilihan tersebut diberi jarak selama dua tahun. Menggelar pemilu di tingkat nasional dan daerah pada satu tahun yang sama menjadikan pemilihan di Indonesia sebagai pemilihan yang paling kompleks.