Masyarakat Osing dikenal masih kokoh menjaga adat budaya leluhur mereka secara turun-temurun. Di balik tradisi mepe kasur ini, tersimpan doa dan pengharapan mendalam bagi generasi Osing di masa mendatang.
Budayawan Kemiren Banyuwangi, Haidi Bing Slamet menjelaskan, tidak ada catatan pasti kapan tradisi Mepe Kasur ini dimulai. Namun ia dan seluruh warga Osing meyakini kebiasaan baik ini telah ada sejak lahirnya Suku Osing di Bumi Blambangan.
Haidi menuturkan, saat menikahkan anak-anak mereka, masyarakat Suku Osing selalu membekali mereka dengan kasur berwarna merah dan hitam.
Kedua warna ini bukan sekadar pilihan, melainkan menyimpan makna doa yang akan terus dipanjatkan sepanjang hayat.
”Masyarakat suku Osing itu selalu memiliki makna dalam setiap gerak hidupnya, kasur itu memiliki makna doa yang dipanjatkan. Kalau warna merah itu bermakna keabadian rumah tangga dan warna hitam itu bermakna tolak bala,” ujar Haidi dikutip dari Detikjatim.com, Jumat (30/5/2025).
Simbol warna ini diyakini masyarakat Osing sebagai wujud perlindungan bagi anak-anak mereka yang telah menempuh bahtera rumah tangga. Berlayar dengan perahunya sendiri sebagai nahkoda sekaligus awak untuk menuju kesejahteraan dan dijauhkan dari segala macam rintangan.
Murianews, Banyuwangi – Pemandangan unik dan penuh makna terlihat di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Jajaran kasur berwarna merah dan hitam membentang sepanjang tiga kilometer di depan rumah-rumah warga.
Ini adalah tradisi Mepe Kasur, yakni merupakan ritual menyambut awal bulan Zulhijah yang dipegang teguh oleh Suku Osing, suku asli Banyuwangi.
Masyarakat Osing dikenal masih kokoh menjaga adat budaya leluhur mereka secara turun-temurun. Di balik tradisi mepe kasur ini, tersimpan doa dan pengharapan mendalam bagi generasi Osing di masa mendatang.
Budayawan Kemiren Banyuwangi, Haidi Bing Slamet menjelaskan, tidak ada catatan pasti kapan tradisi Mepe Kasur ini dimulai. Namun ia dan seluruh warga Osing meyakini kebiasaan baik ini telah ada sejak lahirnya Suku Osing di Bumi Blambangan.
Haidi menuturkan, saat menikahkan anak-anak mereka, masyarakat Suku Osing selalu membekali mereka dengan kasur berwarna merah dan hitam.
Kedua warna ini bukan sekadar pilihan, melainkan menyimpan makna doa yang akan terus dipanjatkan sepanjang hayat.
”Masyarakat suku Osing itu selalu memiliki makna dalam setiap gerak hidupnya, kasur itu memiliki makna doa yang dipanjatkan. Kalau warna merah itu bermakna keabadian rumah tangga dan warna hitam itu bermakna tolak bala,” ujar Haidi dikutip dari Detikjatim.com, Jumat (30/5/2025).
Simbol warna ini diyakini masyarakat Osing sebagai wujud perlindungan bagi anak-anak mereka yang telah menempuh bahtera rumah tangga. Berlayar dengan perahunya sendiri sebagai nahkoda sekaligus awak untuk menuju kesejahteraan dan dijauhkan dari segala macam rintangan.
Tiap Zulhijah...
Setiap tahun menjelang bulan Zulhijah, tanpa perlu diminta, masyarakat Suku Osing secara sadar akan menata tempat penjemuran kasur di depan rumah masing-masing. Mulai pukul 09.00 pagi, kasur-kasur tersebut akan dikeluarkan untuk dijemur.
”Masyarakat di sini tidak pernah absen, tanpa diminta mereka langsung menjemur kasur berjajar di depan rumahnya masing-masing. Itu tradisi yang sudah turun temurun, generasi muda sekarang juga mempraktikkan hal yang sama,” kata Haidi.
Selain doa yang terselip untuk anak cucu, tradisi mepe kasur atau menjemur kasur juga menjadi simbol membersihkan bagian dalam rumah dari pengaruh energi buruk.
”Kasur itu kan hal pribadi yang ada di dalam kamar. Orang luar tidak boleh tahu. Tapi di kasur itu juga ada pengaruh energi negatif dari luar yang harus dikeluarkan. Pada momentum inilah pengaruh energi negatif dari luar itu dikeluarkan dari rumah. Jadi, menolak bala yang masuk ke rumah,” jelasnya.