Gugatan ini menyasar Pasal 139 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Permohonan diajukan oleh empat pemohon dari unit kegiatan Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (Formasi) Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram.
Mereka adalah Yusron Ashalirrohman (Pemohon I), Roby Nurdiansyah (Pemohon II), Yudi Pratama Putra (Pemohon III), dan Muhammad Khairi Muslimin (Pemohon IV).
Pemohon I dan Pemohon II menghadiri sidang secara luring, sementara Pemohon III dan Pemohon IV mengikuti secara daring melalui Zoom.
Majelis Panel Hakim Konstitusi yang memimpin sidang terdiri dari Saldi Isra (Ketua Majelis Panel), Ridwan Mansyur (Anggota Majelis Panel), dan Arsul Sani (Anggota Majelis Panel).
Dalam permohonannya, para pemohon menguji tentang sifat rekomendasi sebagai hasil kajian Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada.
Murianews, Jakarta – Sejumlah mahasiswa dan alumni Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah mengajukan permohonan pengujian materiil UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ini menyasar Pasal 139 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Mengutip dari Antara, sidang pendahuluan perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025 telah dilaksanakan pada Kamis (10/7/2025) di Lantai 4 Gedung 2 Mahkamah Konstitusi.
Permohonan diajukan oleh empat pemohon dari unit kegiatan Forum Mahasiswa Pengkaji Konstitusi (Formasi) Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram.
Mereka adalah Yusron Ashalirrohman (Pemohon I), Roby Nurdiansyah (Pemohon II), Yudi Pratama Putra (Pemohon III), dan Muhammad Khairi Muslimin (Pemohon IV).
Pemohon I dan Pemohon II menghadiri sidang secara luring, sementara Pemohon III dan Pemohon IV mengikuti secara daring melalui Zoom.
Majelis Panel Hakim Konstitusi yang memimpin sidang terdiri dari Saldi Isra (Ketua Majelis Panel), Ridwan Mansyur (Anggota Majelis Panel), dan Arsul Sani (Anggota Majelis Panel).
Dalam permohonannya, para pemohon menguji tentang sifat rekomendasi sebagai hasil kajian Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada.
Rekomentasi tumpul...
Menurut mereka, rekomendasi Bawaslu tidak mengikat secara hukum, tidak memiliki kekuatan eksekutorial, dan daya paksa.
Akibatnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang menerima rekomendasi seringkali tidak menjalankan isi rekomendasi Bawaslu, yang kemudian menjadi permasalahan dalam setiap Pilkada sejak tahun 2018, 2020, hingga 2024.
Para pemohon menyoroti perbedaan kewenangan Bawaslu antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.
Undang-Undang Pemilu memberikan kewenangan penuh kepada Bawaslu untuk memutus pelanggaran administrasi (Pasal 461 UU Pemilu), namun UU Pilkada mereduksi peran Bawaslu menjadi hanya pemberi rekomendasi, dengan keputusan akhir tetap di tangan KPU.
Perbedaan ekstrem ini dinilai jauh dari semangat putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 yang menyamakan kedudukan pengawas pemilu dan pilkada.
Para pemohon berpendapat bahwa kewenangan Bawaslu dalam pemilu seharusnya berlaku secara mutatis mutandis pada pilkada.
Para Pemohon berharap, MK sebagai ”the guardian of democracy” dapat mengembalikan kewenangan Bawaslu dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada sebagaimana mestinya, sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan proses pemilihan kepala daerah di masa depan.