Dalam rilis dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) beberapa hari lalu, Muhammad Karim dari Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta mengatakan, bahwa kebijakan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut akan menyebabkan perampasan ruang laut di pesisir dan pulau kecil.
“Ketika pasirnya diserok, maka ruang perairannya akan mengalami perubahan. Akibatnya sangat kompleks mulai dari arus yang berubah, gelombang dan dinamika perairannya yang berubah,” jelas Karim.
Karim menyontohkan, di Kepulauan Riau misalnya, ketika penambangan pasir laut berlangsung, nelayan mengalami penurunan hasil penangkapan ikan. Penyebabnyam stok ikan mengalami deplesi dan nelayan harus melaut lebih jauh.
Menurut Karim, situasi ini perlu menjadi perhatian bersama, tertutama untuk menjawab persoalan mengapa kebijakan semacam ini selalu berdekatan dengan momentum politik. Ada hal-hal yang menarik yang diduga ada korelasinya dengan memperbolehkan kembali ekspor pasir laut.
“Jika ada yang menyebutkan bisnis pasir laut akan menyejahterahkan nelayan itu hanya omong kosong karena bisnis pasir laut ini menciptakan kerusakan dan kerugian sosial ekologi,” tegas Karim.
Pasir Laut Jepara Mau Dikeruk, Apa Dampaknya?
Murianews, Jepara – Pasir laut di perairan Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ditarget untuk dikeruk. Banyak pihak menyebut rencana itu akan membahayakan lingkungan, ekosistem dan sosial masyarakat.
Dalam rilis dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) beberapa hari lalu, Muhammad Karim dari Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Universitas Trilogi Jakarta mengatakan, bahwa kebijakan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut akan menyebabkan perampasan ruang laut di pesisir dan pulau kecil.
“Ketika pasirnya diserok, maka ruang perairannya akan mengalami perubahan. Akibatnya sangat kompleks mulai dari arus yang berubah, gelombang dan dinamika perairannya yang berubah,” jelas Karim.
Karim menyontohkan, di Kepulauan Riau misalnya, ketika penambangan pasir laut berlangsung, nelayan mengalami penurunan hasil penangkapan ikan. Penyebabnyam stok ikan mengalami deplesi dan nelayan harus melaut lebih jauh.
Menurut Karim, situasi ini perlu menjadi perhatian bersama, tertutama untuk menjawab persoalan mengapa kebijakan semacam ini selalu berdekatan dengan momentum politik. Ada hal-hal yang menarik yang diduga ada korelasinya dengan memperbolehkan kembali ekspor pasir laut.
“Jika ada yang menyebutkan bisnis pasir laut akan menyejahterahkan nelayan itu hanya omong kosong karena bisnis pasir laut ini menciptakan kerusakan dan kerugian sosial ekologi,” tegas Karim.
Kebijakan.....
Karim menegaskan, Kebijakan PP 26/2023 dan Permendag Nomor 21 tahun 2024 bukan solusi mengelola dan mengatasi sedimentasi di laut. Hal ini karena menyebabkan tindakan eksploitasi dan ekstraktivisme manusia di daerah hulu sungai dan pesisir yang masuk ke perairan laut.
“Kebijakan ini seharusnya di cabut karena akan menambah masalah di negeri ini,” jelas Karim.
Dalam keterangan tertulis itu, Kiara menyatakan bahwa potensi pengerusakan ekosistem pesisir dan laut di area pengerukan atau penambangan pasir laut beserta area penyangganya masih belum dapat dihitung secara akurat.
Hal tersebut juga sejalan dengan potensi kerugian negara yang belum diakumulasikan untuk mengembalikan dan merehabilitasi kerusakan sosial-ekologis di wilayah pengerukan penambangan pasir laut.
Khusus di Jepara, berdasarkan data yang dihimpun Murianews.com, konflik penambangan pasir besi di pesisir pantai Jepara dengan warga setempat sudah beberapa kali terjadi.
Pada sekitar Tahun 2013, konflik terjadi antara warga dengan PT Guci Mas Nusantara. Pada tahun 2018 kembali terjadi konflik antara warga dengan PT Pasir Rantai Mas akibat penambangan pasir besi. Aktivitas penambangan ini membuat alam rusak, seperti dampak abrasi hingga kerusakan ekosistem laut.
Editor: Budi Santoso