Itu menyusul vonis 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinda Pidana Korupsi Semarang. Ia terbukti menyalahgunakan wewenang dalam kasus korupsi proyek Sistem Informasi Hubungan Industrial Terpadu (SIHT).
Kepala Badan Kepegawaian Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Putut Winarno mengatakan, vonis pidana korupsi yang dijatuhkan menjadi dasar pemberian sanksi PTDH dari status Rini sebagai ASN.
”Kalau pidana umum dengan hukuman di bawah dua tahun masih memungkinkan untuk dipulihkan, berbeda dengan tindak pidana korupsi. Jika terbukti korupsi, maka sanksinya adalah pemberhentian tidak dengan hormat,” ujarnya.
Saat ini, pihaknya masih menunggu salinan resmi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari pengadilan. Setelah itu pihaknya baru bisa memproses mekanisme pemberhentian sesuai regulasi.
”Saat ini kami melakukan koordinasi dengan pengadilan. Begitu surat inkrah turun, langsung kami tindaklanjuti dengan prosedur pemberhentian ASN. Kami juga belum tau apakah ada banding atau tidak, harus ada surat inkrahnya,” tambahnya.
Diketahui, meski telah divonis pada 1 September 2025 lalu, Rini masih menerima 50 persen gajinya sebagai ASN. Itu sesuai aturan di mana PNS yang berstatus terdakwa masih berhak atas sebagian gainya sebelum ada keputusan pemberhentian tetap.
”Sampai September 2025 ini, beliau masih menerima 50 persen gaji. Namun jika sudah resmi dicopot tidak dengan hormat, hak itu otomatis gugur,” katanya.
Murianews, Kudus – Rini Kartika Hadi Ahmawati, mantan Kepala Dinas Ketenagakerjaan Perindustrian Koperasi dan UKM (Disnaker Perinkop dan UKM) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah segera mendapat sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau dipecat.
Itu menyusul vonis 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinda Pidana Korupsi Semarang. Ia terbukti menyalahgunakan wewenang dalam kasus korupsi proyek Sistem Informasi Hubungan Industrial Terpadu (SIHT).
Kepala Badan Kepegawaian Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Putut Winarno mengatakan, vonis pidana korupsi yang dijatuhkan menjadi dasar pemberian sanksi PTDH dari status Rini sebagai ASN.
”Kalau pidana umum dengan hukuman di bawah dua tahun masih memungkinkan untuk dipulihkan, berbeda dengan tindak pidana korupsi. Jika terbukti korupsi, maka sanksinya adalah pemberhentian tidak dengan hormat,” ujarnya.
Saat ini, pihaknya masih menunggu salinan resmi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah) dari pengadilan. Setelah itu pihaknya baru bisa memproses mekanisme pemberhentian sesuai regulasi.
”Saat ini kami melakukan koordinasi dengan pengadilan. Begitu surat inkrah turun, langsung kami tindaklanjuti dengan prosedur pemberhentian ASN. Kami juga belum tau apakah ada banding atau tidak, harus ada surat inkrahnya,” tambahnya.
Diketahui, meski telah divonis pada 1 September 2025 lalu, Rini masih menerima 50 persen gajinya sebagai ASN. Itu sesuai aturan di mana PNS yang berstatus terdakwa masih berhak atas sebagian gainya sebelum ada keputusan pemberhentian tetap.
”Sampai September 2025 ini, beliau masih menerima 50 persen gaji. Namun jika sudah resmi dicopot tidak dengan hormat, hak itu otomatis gugur,” katanya.
Korupsi...
Kasus korupsi yang menjerat Rini bermula dari proyek pembangunan SIHT. Dalam proyek tersebut, ia terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri.
Rini dinyatakan terbukti bersalah oleh Pengadilan Tinda Pidana Korupsi Semarang, Senin (1/9/2025). Dalam sidang itu, ia divonis 1 tahun 6 bulan oleh majelis hakim.
Hakim memutuskan ia melanggar Pasal 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.
Putut menegaskan, langkah tegas ini sekaligus menjadi pembelajaran bagi ASN lain agar menjaga integritas dan menghindari praktik korupsi.