Kamis, 20 November 2025

Murianews, JakartaConstitutional and Administrative Law Society (CALS) menilai pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menyebut presiden boleh kampanye, tidak etis dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu.

CALS yang didalamnya terdapat Peneliti PUSaKO Unand Beni Kurnia Ilahi, akademisi UGM Dr Yance Arizona, dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menyebut pasal yang menjadi rujukan Jokowi soal presiden boleh kampanye banyak kelemahannya.

Mereka pun menyebut, dalam memperdebatkan norma pasal dalam pemilu, UU Pemilu harus diletakkan pertama kali dalam konteks Pemilu dalam UU 1945 yakni, LUBER JURDIL dengan menekankan aspek keadilan.

”Pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945,” kata CALS dalam keterangan tertulis seperti dikutip Murianews dari Detik.com, Kamis (25/1/2024).

CALS kemudian menilai UU Pemilu banyak kelemahannya. Di antaranya, penyusunannya dilakukan atas kepentingan politik dan dibuat berdasarkan kasus emirik. UU Pemilu pun belum mengatasi peristiwa seperti yang terjadi dalam Pemilu 2024.

Mereka kemudian membedah pasal 299 dalam UU Pemilu yang menyebut Presiden atau Wakil Presiden boleh berkampanye. Menurutnya, pasal itu mengatur soal kampanye yang dilakukan Presiden atau Wakil Presiden bila kembali maju menjadi calon petahana.

CALS menyebut dalam membaca teks pasal, harus menempatkannya dalam konstruksi pasal secara keseluruhan dan pengelompokan pasal dalam undang-undang.

”Ayat (3) dari pasal itu dan letaknya dalam bagian kedelapan dan Bab VII (tentang Kampanye) menunjukkan bahwa pasal itu dibuat untuk mengantisipasi situasi petahana yang mencalonkan diri,” ucapnya.

Menurut mereka, praktik nepotisme dan politik dinasti yang disertai cawe-cawe politik yang vulgar baru terjadi di masa pemerintahan Jokowi. UU Pemilu dinilai belum mengantisipasi situasi itu tersebut.

CALS juga membedah pasal 281 terkait kampanye yang mengikutsertakan Presiden, Wapres, Menteri serta kepala daerah. Pasal itu mengatur pelarangan penggunaan fasilitas dalam jabatannya serta harus cuti di luar tanggungan negara.

”Pasal ini tidak akan menjamin Presiden bisa berlaku netral dan adil. Bisa saja terjadi, pagi hari bagi-bagi Bansos atas nama Presiden, lalu sore ikut mengkampanyekan anaknya yang jadi cawapres,” ucapnya.

Mereka menyebut banyak sekali fasilitas administrasi dan protokoler yang melekat pada jabatan presiden. Saat presiden berkampanye dalam masa cuti-pun, pasti akan ada Paspampres dan protokoler pengamanan presiden.

Mereka juga mengingatkan aturan dalam UU Administrasi Pemerintahan. Dalam pasal 42 dan 43, terdapat larangan bagi pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan untuk menetapkan keputusan atau tindakan.

”Presiden sebagai Penyelenggara Administrasi Pemerintahan juga mengabaikan ketentuan ini, yang sangat jelas mengatur soal konflik kepentingan yang dilatarbelakangi oleh hubungan dengan kerabat dan keluarga ketika melakukan sebuah tindakan/keputusan. Kampanye merupakan bagian dari sebuah Tindakan,” ucap mereka.

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler