Tren Pernikahan di Indonesia Menurun Signifikan
Cholis Anwar
Kamis, 7 Maret 2024 11:57:00
Murianews, Jakarta – Indonesia mengalami fase penurunan pernikahan secara signifikan. Bhakan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan pernikahan itu mencapai 28 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir sejak 2023.
Merespons hal ini, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, data yang tercatat di BPS hanya berkaitan dengan pernikahan agama Islam. Hal ini disebabkan oleh pencatatan yang berasal dari sistem informasi manajemen nikah (SIMKAH) di kantor urusan agama (KUA), yang belum mencakup perkawinan non-muslim.
”Data tersebut mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan gambaran yang sebenarnya di lapangan,” jelas Hasto seperti dikutip dari Detik.com, Kamis (7/3/2024).
Lebih lanjut, laporan juga menunjukkan bahwa angka kesuburan wanita, atau Total Fertility Rate (TFR), juga mengalami penurunan. Menurut Hasto, TFR di Indonesia pada tahun 2023 berada pada angka 2,1, yang berarti setiap wanita melahirkan satu anak perempuan.
Penurunan ini sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2017. Jika tren penurunan TFR terus berlanjut, dampaknya dapat berpengaruh pada laju pertumbuhan penduduk serta menimbulkan tantangan terkait bonus demografi yang memerlukan jumlah sumber daya manusia yang lebih besar.
”Dalam analisis saya, penurunan ini sejalan dengan Total Fertility Rate, yang menunjukkan rata-rata berapa banyak anak yang dilahirkan oleh perempuan. Pada tahun 2017, angkanya masih cukup tinggi, mencapai 2,4 hampir 2,5,” tambah Hasto.
Penyebab penurunan angka pernikahan di Indonesia secara umum tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di banyak negara maju.
Faktor-faktor seperti kondisi finansial, pendidikan, dan tempat tinggal turut mempengaruhi tren ini. Tingkat pendidikan yang tinggi, misalnya, cenderung membuat seseorang memiliki lebih sedikit anak atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali.
”Dari segi pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin kecil kemungkinan untuk memiliki banyak anak. Namun, di daerah-daerah yang masih tertinggal, kecenderungan untuk memiliki banyak anak dan menikah masih tinggi,” ungkapnya.
Murianews, Jakarta – Indonesia mengalami fase penurunan pernikahan secara signifikan. Bhakan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan pernikahan itu mencapai 28 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir sejak 2023.
Merespons hal ini, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, data yang tercatat di BPS hanya berkaitan dengan pernikahan agama Islam. Hal ini disebabkan oleh pencatatan yang berasal dari sistem informasi manajemen nikah (SIMKAH) di kantor urusan agama (KUA), yang belum mencakup perkawinan non-muslim.
”Data tersebut mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan gambaran yang sebenarnya di lapangan,” jelas Hasto seperti dikutip dari Detik.com, Kamis (7/3/2024).
Lebih lanjut, laporan juga menunjukkan bahwa angka kesuburan wanita, atau Total Fertility Rate (TFR), juga mengalami penurunan. Menurut Hasto, TFR di Indonesia pada tahun 2023 berada pada angka 2,1, yang berarti setiap wanita melahirkan satu anak perempuan.
Penurunan ini sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2017. Jika tren penurunan TFR terus berlanjut, dampaknya dapat berpengaruh pada laju pertumbuhan penduduk serta menimbulkan tantangan terkait bonus demografi yang memerlukan jumlah sumber daya manusia yang lebih besar.
”Dalam analisis saya, penurunan ini sejalan dengan Total Fertility Rate, yang menunjukkan rata-rata berapa banyak anak yang dilahirkan oleh perempuan. Pada tahun 2017, angkanya masih cukup tinggi, mencapai 2,4 hampir 2,5,” tambah Hasto.
Penyebab penurunan angka pernikahan di Indonesia secara umum tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di banyak negara maju.
Faktor-faktor seperti kondisi finansial, pendidikan, dan tempat tinggal turut mempengaruhi tren ini. Tingkat pendidikan yang tinggi, misalnya, cenderung membuat seseorang memiliki lebih sedikit anak atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali.
”Dari segi pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin kecil kemungkinan untuk memiliki banyak anak. Namun, di daerah-daerah yang masih tertinggal, kecenderungan untuk memiliki banyak anak dan menikah masih tinggi,” ungkapnya.