Kemudian, warga juga menuntut Solusi Bangun Indonesia untuk memberikan sanksi tegas kepada SGI. Lalu memerintahkan SGI untuk segera memberhentikan kerjasama koordinasi/kompensasi lingkungan dengan PT BSS.
Murianews, Jepara – Koalisi Kembang Bersatu (KKB) menyebut Bupati Jepara, Witiarso Utomo melindungi oligarki. Itu karena bupati dianggap tak menyelesaikan persoalan transparansi pengelolaan dana limbah PLTU Tanjung Jati Unit 5 dan 6.
Pernyataan itu disampaikan Dafiq, koordinator aksi warga Desa Tubanan, Kancilan, Balong dan Jinggotan di depan gerbang Kantor Bupati Jepara, Rabu (16/7/2025). Sedianya, warga berharap bisa bertemu bupati dan menyelesaikan masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu.
”Harapannya kami kan bupati bisa menyelesaikan masalah ini. Karena dia yang punya wewenang. Tapi kami melihat dan merasa, bahwa bupati melindungi oligarki. Kalau memang Jepara mau dibilang Mulus,-tag line kampanye bupati terpilih, tapi nyatanya seperti ini. Ini kan tidak sesuai dengan komitmen,” kata Dafiq.
Dafiq menilai, kekuatan oligarki sudah menguasai berbagai lini birokrasi di Jepara. Dia khawatir jika nanti masyarakat yang justru akan menjadi korban.
”Apakah masyarakat harus turun ke jalan lagi?” ucap aktivis asal Desa Balong itu.
Sikap koalisi rakyat itu didasari adanya masalah serius pada pengelolaan dana limbah Fly Ash Bottom Ash (Faba) PLTU Tanjung Jati Unit 5 dan 6. Mereka menilai, dana kompensasi lingkungan tidak sesuai dengan data yang didapatkan.
Berdasarkan penghitungannya, Dafiq memaparkan, selama 4 bulan dari bulan September-Desember 2024. Limbah fly ash mengangkut sekitar 108.042 ton.
Kemudian berdasarkan dokumen tender yang warga dapatkan dari Solusi Bangun Indonesia (SBI), jasa untuk transportasi limbah fly ash sebesar RP 12.500 per ton dan Rp 25 ribu per ton untuk bottom ash.
Artinya...
Artinya dalam 4 bulan itu (September-Desember 2024), Dafiq melanjutkan, dari pengelolaan limbah fly ash saja mereka mendapatkan Rp 1.350.525.000.
Dalam dokumen itu juga, disebutkan nominal tersebut sudah termasuk biaya koordinasi atau kompensasi lingkungan. Itulah yang seharusnya langsung diberikan ke warga melalui Pemerintah Desa.
Koalisi juga sempat mendapatkan informasi bahwa dana koordnasi atau kompensasi lingkungan yang dimaksud adalah sekitar 20 persen.
Sehingga hanya dari empat bulan itu saja dan hanya dari pengelolaan limbah fly ash saja, tidak termasuk bottom ash, biaya koordinasi dan kompensasi lingkungan yang seharusnya didistribusikan adalah Rp 270.105.000.
Sementara biaya kompensasi yang didistribusikan ke desa sekitar PLTU Tanjung Jati unit 5 dan 6, per-desa tidak sampai 20 juta selama 4 bulan itu.
”Namun ketika kami meminta koordinasi untuk transparansi dana, kami tidak mendapatkan dan dianggap tidak berhak untuk mendapatkan itu,” ungkap Dafiq.
Dari berbagai kelindan masalah itu, Dafiq menduga ada praktik pungutan liar alias pungli. Hanya saja, dia melihat bahwa pungli itu dibalut dengan kerjasama antar perusahaan.
”Seolah-olah pungli itu resmi. Berbeda ketika masyarakat meminta transparansi, kami dianggap pemberontak. Kalau memang dana itu untuk masyarakat ya, langsung saja diberikan kepada masyarakat. Jangan kemudian dikelola perusahaan dan dibagi seenaknya sendiri. Untuk itu kami menuntut pihak Kepolisian mengusut dugaan pungli itu,” jelas Dafiq.
Tuntut Bupati...
Dafiq menegaskan, masyarakat menuntut bupati segera menyelesaikan permasalahan ini dengan memerintahkan SGI sebagai pihak transportasi limbah, untuk langsung mendistribusikan kepada masyarakat desa tanpa perantara pihak ketiga.
Kemudian, warga juga menuntut Solusi Bangun Indonesia untuk memberikan sanksi tegas kepada SGI. Lalu memerintahkan SGI untuk segera memberhentikan kerjasama koordinasi/kompensasi lingkungan dengan PT BSS.
Editor: Zulkifli Fahmi