Lima warga Desa Sumberrejo yang dilaporkan ke Polisi setelah melakukan penolakan Tambang Sumberrejo tersebut adalah Ali Imron, dan Sungalip yang diadukan krena diduga melakukan perintangan. Lalu Subekti, Mohammad Irwan dan Muhari diadukan karena dugaan penganiayaan.
Sedangkan satu lagi, Muhari, diadukan ke polisi dengan dua dugaan, yaitu perintangan dan penganiayaan. Peristiwa yang berakhir dengan aduan ke polisi ini terjadi pada 20 Juli 2025 lalu, di lokasi pertambanga CV Senggol Mekar GS-MD di Desa Sumberrejo.
Fajar Dhika, pendamping hukum dari LBH Semarang menilai pelaporan atas kliennya tersebut merupakan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Pihaknya menyampaikan, rentetan kejadian yang dihadapi warga merupakan pengabaian negara terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup.
Dhika juga menambahkan, warga Desa Sumberrejo perlu ditegaskan sebagai pejuang lingkungan hidup yang rentan menjadi sasaran kriminalisasi. Mereka seharusnya dilindungi oleh undang-undang.
“Apa yang terjadi sekarang, malahan seperti aparat menjadi kaki tangan dari perusahaan tambang yang merusak lingkungan. Melihat CV Senggol Mekar yang “memiliki izin” sehingga boleh melakukan apapun merupakan cara berpikir yang salah,” jelas Dhika, Senin (11/8/2025).
Karena pada prinsipnya, warga memiliki hak untuk mengajukan keberatan terhadap kegiatan tambang. Oleh karenanya, Dhika menilai CV Senggol Mekar seharunya tidak bisa sewenang-wenang dalam hal ini.
Murianews, Jepara – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang memberikan pendampingan hukum kepada lima warga Desa Sumberrejo, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara yang dilaporkan kepada Polisi. Mereka sebelumnya menyatakan penolakan atas Tambang Sumberrejo.
Lima warga Desa Sumberrejo yang dilaporkan ke Polisi setelah melakukan penolakan Tambang Sumberrejo tersebut adalah Ali Imron, dan Sungalip yang diadukan krena diduga melakukan perintangan. Lalu Subekti, Mohammad Irwan dan Muhari diadukan karena dugaan penganiayaan.
Sedangkan satu lagi, Muhari, diadukan ke polisi dengan dua dugaan, yaitu perintangan dan penganiayaan. Peristiwa yang berakhir dengan aduan ke polisi ini terjadi pada 20 Juli 2025 lalu, di lokasi pertambanga CV Senggol Mekar GS-MD di Desa Sumberrejo.
Fajar Dhika, pendamping hukum dari LBH Semarang menilai pelaporan atas kliennya tersebut merupakan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Pihaknya menyampaikan, rentetan kejadian yang dihadapi warga merupakan pengabaian negara terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup.
Dhika juga menambahkan, warga Desa Sumberrejo perlu ditegaskan sebagai pejuang lingkungan hidup yang rentan menjadi sasaran kriminalisasi. Mereka seharusnya dilindungi oleh undang-undang.
“Apa yang terjadi sekarang, malahan seperti aparat menjadi kaki tangan dari perusahaan tambang yang merusak lingkungan. Melihat CV Senggol Mekar yang “memiliki izin” sehingga boleh melakukan apapun merupakan cara berpikir yang salah,” jelas Dhika, Senin (11/8/2025).
Karena pada prinsipnya, warga memiliki hak untuk mengajukan keberatan terhadap kegiatan tambang. Oleh karenanya, Dhika menilai CV Senggol Mekar seharunya tidak bisa sewenang-wenang dalam hal ini.
Kriminalisasi...
LBH Semarang melihat, upaya pidana yang dilakukan itu terlihat seperti usaha pembungkaman terhadap warga yang sedang mempertahankan kelestarian lingkungannya. Oleh karenanya, aparat dituntut untuk menghentikan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut kepada warga penolak tambang.
Dhika menyebut, datangnya surat pemanggilan sehari sebelum agenda permintaan klarifikasi kepada warga bernama Sungalip dan Ali Imron, jelas tindakan yang tidak profesional oleh aparat kepolisian. Karena seharusnya dilakukan tiga hari sebelumnya.
Pihaknya menyatakan, kejadia seperti ini bukan kali pertama terjadi. Karena sebelumnya 2017 silam, di Kabupaten Sukoharjo 7 orang dilaporkan, 2021 di Pekalongan warga juga dikriminalisasi. Semua karena menolak tambang yang serampangan.
Dhika menganggap, kriminalisasi menjadi upaya serangan balik yang dilakukan oleh pihak-pihak perusak lingkungan karena alasan pertambangan. Karena tidak adanya tindakan tegas oleh negara terhadap mereka perusak lingkungan hidup. Kejadian ini sering disebut sebagai SLAPP.
“Negara seharusnya melakukan pemenuhan dan perlindungan terhadap siapa saja yang memperjuangkan lingkungan hidupnya,” tandas Dhika.
Editor: Budi Santoso