Salah satunya dari pemerhati sejarah Grobogan Heru Herdono. Menurut sosok yang disapa Mbah Bedjo itu, istilah yang benar yakni Boyong Projo, bukan Boyong Grobog. Ada kekeliruan cukup mendasar dalam penamaan kirab tersebut.
Mbah Bedjo pun menjelaskan panjang lebar. Dia menceritakan, awalnya Boyong Grobog digagas oleh sosok bernama Mbah Naryo.
”Asal-usul nama Desa Grobogan berasal dari adanya grobog atau sebuah peti kayu besar yang tertinggal di tempat tersebut. Grobog tersebut dibawa oleh prajurit Demak yang dipimpin oleh Sunan Ngudung dan Sunan Kudus. Cerita ini juga tercatat dalam Wikipedia Kabupaten Grobogan,” jelasnya.
Berdasarkan cerita tersebut, lanjut Mbah Bedjo, Mbah Naryo kemudian memiliki gagasan untuk mengadakan sebuah perayaan yang dapat menghibur warga sekaligus meningkatkan UMKM di Desa Grobogan.
Kemudian pada tahun 2008, dengan dukungan dari masyarakat dan aparat Desa Grobogan, gagasannya berhasil diwujudkan dengan sukses. Acara utamanya adalah mengarak grobog beserta gunungan setinggi dua meter berjumlah sepuluh buah.
Gunungan tersebut berisi buah-buahan, sayuran, dan hasil bumi lainnya, yang kemudian diperebutkan oleh warga yang meramaikan acara tersebut. Acara ini berjalan dengan lancar dan hanya diselenggarakan di Desa Grobogan.
”Dengan dukungan kepala Desa Grobogan, Mbah Naryo berniat memperbesar acara ini ke tingkat kabupaten. Tujuan utamanya adalah sebagai peringatan pemindahan pusat pemerintahan dari Desa Grobogan ke Desa Purwodadi pada tahun 1864,” papar Mbah Bedjo.
Murianews, Grobogan - Pemkab Grobogan, Jawa Tengah kembali menggelar kirab Boyong Grobog untuk memperingati HUT ke-299 pada Senin (3/3/2025) lalu. Agenda tahunan ini ternyata mendapat kritik, karena terdapat kekeliruan yang melatarinya.
Salah satunya dari pemerhati sejarah Grobogan Heru Herdono. Menurut sosok yang disapa Mbah Bedjo itu, istilah yang benar yakni Boyong Projo, bukan Boyong Grobog. Ada kekeliruan cukup mendasar dalam penamaan kirab tersebut.
Mbah Bedjo pun menjelaskan panjang lebar. Dia menceritakan, awalnya Boyong Grobog digagas oleh sosok bernama Mbah Naryo.
Dipaparkannya, Boyong Grobog awalnya merupakan perayaan di tingkat Desa Grobogan (kini kelurahan), Kecamatan Grobogan. Diceritakan, pada tahun 2005, Mbah Naryo mendengar cerita bahwa kantor Kabupaten Grobogan dahulu berada di Desa Grobogan.
”Asal-usul nama Desa Grobogan berasal dari adanya grobog atau sebuah peti kayu besar yang tertinggal di tempat tersebut. Grobog tersebut dibawa oleh prajurit Demak yang dipimpin oleh Sunan Ngudung dan Sunan Kudus. Cerita ini juga tercatat dalam Wikipedia Kabupaten Grobogan,” jelasnya.
Berdasarkan cerita tersebut, lanjut Mbah Bedjo, Mbah Naryo kemudian memiliki gagasan untuk mengadakan sebuah perayaan yang dapat menghibur warga sekaligus meningkatkan UMKM di Desa Grobogan.
Kemudian pada tahun 2008, dengan dukungan dari masyarakat dan aparat Desa Grobogan, gagasannya berhasil diwujudkan dengan sukses. Acara utamanya adalah mengarak grobog beserta gunungan setinggi dua meter berjumlah sepuluh buah.
Gunungan tersebut berisi buah-buahan, sayuran, dan hasil bumi lainnya, yang kemudian diperebutkan oleh warga yang meramaikan acara tersebut. Acara ini berjalan dengan lancar dan hanya diselenggarakan di Desa Grobogan.
”Dengan dukungan kepala Desa Grobogan, Mbah Naryo berniat memperbesar acara ini ke tingkat kabupaten. Tujuan utamanya adalah sebagai peringatan pemindahan pusat pemerintahan dari Desa Grobogan ke Desa Purwodadi pada tahun 1864,” papar Mbah Bedjo.
Disetujui..
Rencana tersebut kemudian disetujui oleh Disporabudpar Grobogan dan direncanakan untuk dilaksanakan setiap tanggal 3 Maret, sebelum peringatan hari jadi Kabupaten Grobogan.
Pada tahun 2011, acara ini berhasil digelar dalam bentuk arak-arakan dari Desa Grobogan menuju Pendapa Kabupaten di Kota Purwodadi, dengan nama "Boyong Grobog".
Dalam arak-arakan tersebut, Bupati Grobogan dan keluarganya menaiki kereta kencana, diikuti oleh prajurit yang memikul grobog serta sepuluh gunungan.
”Dari cerita yang beredar, di dalam grobog tersebut terdapat keris pusaka peninggalan Kerajaan Majapahit, yang merupakan karya Mpu Sedah,” ujarnya.
Mbah Bedjo berujar, menilik cerita Mbah Naryo yang menggagas acara Boyong Grobog, memang benar bahwa awalnya acara ini bersifat lokal dan hanya untuk desa Grobogan.
Namun, lanjutnya, acara jika Boyong Grobog yang bertujuan untuk memperingati pemindahan pusat pemerintahan dari Desa Grobogan ke Purwodadi, maka hal ini perlu dikaji ulang.
”Mengarak atau memindahkan grobog dari Desa Grobogan ke pendapa kabupaten sebenarnya tidak memiliki keterkaitan dengan sejarah asal-usul Desa Grobogan,” katanya.
Mbah Bedjo menuturkan, jika menilik sejarah pendirian Kabupaten Grobogan yang awalnya berpusat di Desa Grobogan, maka jelas bahwa Desa Grobogan sudah ada sebelum menjadi pusat pemerintahan kabupaten.
Lestarikan sejarah...
”Pada tahun 1864, pusat kabupaten dipindahkan ke Desa Purwodadi, yang berarti terjadi pemindahan pusat pemerintahan kabupaten. Jika acara ini bertujuan untuk memperingati pemindahan pada tahun 1864, maka lebih tepat jika disebut 'Boyong Projo' atau pemindahan pemerintahan,” jelasnya.
Memang, kata dia, generasi sekarang harus melestarikan sejarah. Namun, lanjutnya, jangan justru menimbulkan kesalahpahaman bagi generasi mendatang.
Hal itu menurutnya juga terjadi dalam penjamasan pusaka dalam rangka HUT Grobogan pula.
”Diungkapkan oleh juru jamas, grobog yang diarak setiap tahun itu disebut-sebut berisi keris pusaka kebanggaan Kabupaten Grobogan, yaitu peninggalan dari Majapahit yang dibuat oleh Mpu Sedah. Apakah hal itu benar?” katanya.
Menurut keterangan dari guru Mbah Bedjo sewaktu masih di Sekolah Rakyat (SR), Mpu Sedah adalah seorang empu pada zaman Kerajaan Kediri dengan raja bernama Jayabaya. Mpu Sedah adalah seorang pujangga kerajaan yang menulis buku terkenal berjudul Kakawin Bharatayuda.
”Maka, jelas bahwa Mpu Sedah sudah meninggal sebelum Kerajaan Majapahit berdiri,” ucap Mbah Bedjo.
Dengan demikian, kurang masuk akal jika keris itu disebutkan dibuat oleh Mpu Sedah di masa Majapahit.
Editor: Anggara Jiwandhana