Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah RI (Amphuri), Zaky Zakaria menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan dampak luas. Terutama pada sektor ekonomi umat dan perlindungan jemaah.
”Jika semua dialihkan ke sistem global, maka dana umat justru akan mengalir ke luar negeri, sementara tenaga kerja dalam negeri kehilangan penghasilan,” jelas Zaky.
Ia menambahkan, aturan ini juga bertentangan dengan upaya pemerintah mengampanyekan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), sebab legalisasi umrah mandiri justru mengalihkan nilai tambah jasa ke luar negeri, sehingga negara berpotensi kehilangan pajak dan devisa.
Zaky juga khawatir ekosistem umat yang selama ini melibatkan pesantren dan ormas Islam dapat mati jika tergantikan platform global yang berorientasi profit semata.
Murianews, Jakarta – Legalisasi perjalanan umrah mandiri melalui Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2025 menuai kekhawatiran dari pelaku industri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah RI (Amphuri), Zaky Zakaria menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan dampak luas. Terutama pada sektor ekonomi umat dan perlindungan jemaah.
Menurut Zaky, legalisasi umrah mandiri membuka ruang bagi korporasi global, marketplace, dan wholesaler asing untuk langsung menjual paket layanan kepada masyarakat Indonesia tanpa melibatkan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) lokal.
”Legalisasi umrah mandiri berarti membuka ruang bagi korporasi global dan marketplace asing dan wholeseller global untuk langsung menjual paket ke masyarakat Indonesia tanpa melibatkan PPIU,” terang Zaky dikutip dari Kompas.com, Jumat (25/10/2025).
Dampak utama yang disoroti Amphuri adalah potensi hilangnya kedaulatan ekonomi umat. Sektor haji dan umrah selama ini telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 4,2 juta pekerja di Indonesia, mulai dari tour leader hingga penyedia katering.
”Jika semua dialihkan ke sistem global, maka dana umat justru akan mengalir ke luar negeri, sementara tenaga kerja dalam negeri kehilangan penghasilan,” jelas Zaky.
Ia menambahkan, aturan ini juga bertentangan dengan upaya pemerintah mengampanyekan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), sebab legalisasi umrah mandiri justru mengalihkan nilai tambah jasa ke luar negeri, sehingga negara berpotensi kehilangan pajak dan devisa.
Zaky juga khawatir ekosistem umat yang selama ini melibatkan pesantren dan ormas Islam dapat mati jika tergantikan platform global yang berorientasi profit semata.
Izin Akreditasi...
Dari sisi perlindungan jemaah, Amphuri memandang aturan ini dapat menurunkan pengawasan.
Berbeda dengan PPIU yang wajib memiliki izin dan akreditasi dari pemerintah, marketplace global tidak memiliki mekanisme pengawasan yang setara, sehingga berpotensi lemah dalam perlindungan.
Zaky juga menyoroti jemaah umrah mandiri tidak akan mendapatkan pembinaan manasik, fikih, dan perlindungan hukum yang memadai.
Jika terjadi gagal berangkat, penipuan, hingga pelanggaran aturan di Tanah Suci-seperti overstay atau memakai atribut yang berbau politik-jemaah tidak memiliki pihak yang bertanggung jawab secara hukum.
Meskipun dilegalkan, Zaky mengingatkan bahwa umrah mandiri tidak sepenuhnya bebas. Jemaah tetap terikat pada penyedia layanan yang terdaftar dan harus melalui Sistem Informasi Kementerian Agama.
”Dengan kata lain, jamaah tetap bergantung pada penyedia layanan yang disediakan pemerintah dalam Sistem Informasi Kementerian,” tutupnya.