Biji timah yang dilebur dalam kerja sama tersebut berasal dari tambang ilegal melalui dua perusahaan, CV BPR dan CV SFS, yang sengaja dibentuk untuk menerima hasil tambang tersebut.
Akibat perbuatannya bersama puluhan tersangka lain yang kini dalam proses persidangan, negara menderita kerugian hingga Rp 300 triliun, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Murianews, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa bos Sriwijaya Air, Hendry Lie, tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah, mencoba pulang secara diam-diam ke Indonesia untuk menghindari petugas.
”Pulang secara diam-diam dengan maksud menghindari petugas,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar dikutip dari Antara, Selasa (19/11/2024).
Hendry diketahui berada di Singapura sejak 25 Maret 2024 setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus ini. Namun, ia tidak kembali ke Indonesia dengan dalih sedang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura.
Penyidik menetapkan Hendry sebagai tersangka pada 15 April 2024. Setelah delapan bulan di Singapura, Hendry akhirnya pulang ke Indonesia pada Senin (18/11/2024) malam.
Ia ditangkap penyidik Direktorat Penyidikan Jampidsus bersama tim intelijen Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) serta Atase Kejaksaan RI di Singapura di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pukul 22.30 WIB.
Menurut Abdul Qohar, Hendry kembali ke Indonesia karena paspornya telah ditarik oleh pihak imigrasi atas permintaan penyidik.
”Paspor yang bersangkutan berakhir pada tanggal 27 November 2024, sehingga tidak memungkinkan untuk diperpanjang. Penyidik telah melayangkan surat ke Kedutaan Besar Singapura melalui imigrasi untuk menarik paspor tersebut,” jelasnya.
Meski Hendry berupaya pulang tanpa terdeteksi, penyidik telah memantau keberadaannya sejak April 2024. Kejagung memastikan upaya pelacakan dan penangkapan berjalan sesuai prosedur.
Hendry Lie, pendiri maskapai penerbangan Sriwijaya Air, diduga berperan aktif sebagai beneficiary owner PT Tinindo Inter Nusa (TIN).
Ia terlibat dalam kerja sama penyewaan peralatan processing peleburan timah antara PT Timah Tbk dan PT TIN.
Biji timah yang dilebur dalam kerja sama tersebut berasal dari tambang ilegal melalui dua perusahaan, CV BPR dan CV SFS, yang sengaja dibentuk untuk menerima hasil tambang tersebut.
Akibat perbuatannya bersama puluhan tersangka lain yang kini dalam proses persidangan, negara menderita kerugian hingga Rp 300 triliun, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).