Ia pun berharap pemerintah bisa membuat kebijakan yang tidak membuat rakyat marah. Dia juga berharap pemerintah tidak mengatakan jika rakyat memusuhi negara atau pejabat.
”Mereka sebenarnya hanya ingin didengar, mengungkapkan pada pemerintah untuk melakukan tugas sebagaimana mestinya. Maka jangan jadikan rakyat sebagai ancaman. Rakyat jadi ancaman kalau pemimpinnya tidak bertindak sebagaimana mestinya,” ujar dia.
Aksi itu, lanjut Anis, lazim terjadi ketika ketidakadilan terlihat sangat mencolok. Apalagi di era media sosial seperti sekarang.
Terlebih saat masyarakat sulit mencari kerja, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun berbagai ketimpangan lainnya.
”Ketika mereka lapar tentu akan sensitif saat melihat orang lain begitu mudah melakukan praktik korupsi. Dalam satu teori, ketidakadilan merupakan kekerasan yang paling pertama dan akan melahirkan kekerasan-kekerasan berikutnya,” sesalnya.
Ia juga menyoroti perilaku politisi yang seolah-olah melakukan praktik ”beli-putus” suara rakyat saat pemilihan. Karena merasa sudah membeli, tak mengherankan bila setelah terpilih seolah tak ada lagi ikatan dengan rakyat.
”Uang menjadi utama. Maka penguasaan ekonomi juga menjadi utama, karena adanya uang dianggap dapat menyelesaikan semua masalah,” imbuh dia.
Persoalan perampasan buku yang diduga menjadi penyebab aksi massa beberapa waktu terakhir juga menjadi sorotan.
Murianews, Pati – Isu politik di tanah air maupun internasional menjadi pokok bahasan Ngaji NgAllah Suluk Maleman bertajuk ”…Dan Udara Pun Beracun…”, Sabtu (20/9/2025).
Dalam situasi serba tak menentu seperti sekarang ini, semua pihak diharap dapat memeriksa kembali posisinya.
Penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba'asyin menyebut di antara pergerakan baru-baru ini terlihat adanya aksi organik atau yang murni terjadi karena keresahan masyarakat, bukan by design atau diatur kelompok tertentu.
Menurutnya, aksi yang dilakukan rakyat merupakan isyarat, tak ada lagi saluran yang dapat dipakai untuk menyuarakan persoalan mereka.
”Jadi jangan menganggap aksi tersebut sekadar sebagai noise, sekadar kebisingan, tapi kode adanya persoalan serius di tengah rakyat. Jadi jangan malah noise-nya yang dipersoalkan dan kemudian dibungka. Tapi dicari akar persoalannya,” ujar Anis.
Menurutnya, jika kebisingan itu dibungkam terus menerus, justru akan menumpuk dan menjadi bom waktu yang akan meledak kapan pun.
Anis berpesan agar penguasa jangan seolah-olah selalu bisa dan harus menguasai rakyat, apalagi membungkamnya. Dia mengingatkan kondisi rakyat itu seperti raksasa tidur.
”Jangan buat marah, karena kalau sudah marah tentu tidak ada yang bisa mengatasinya. Kita beruntung tidak sampai seperti Nepal,” lanjutnya.
Jangan Musuhi Rakyat...
Ia pun berharap pemerintah bisa membuat kebijakan yang tidak membuat rakyat marah. Dia juga berharap pemerintah tidak mengatakan jika rakyat memusuhi negara atau pejabat.
”Mereka sebenarnya hanya ingin didengar, mengungkapkan pada pemerintah untuk melakukan tugas sebagaimana mestinya. Maka jangan jadikan rakyat sebagai ancaman. Rakyat jadi ancaman kalau pemimpinnya tidak bertindak sebagaimana mestinya,” ujar dia.
Aksi itu, lanjut Anis, lazim terjadi ketika ketidakadilan terlihat sangat mencolok. Apalagi di era media sosial seperti sekarang.
Terlebih saat masyarakat sulit mencari kerja, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun berbagai ketimpangan lainnya.
”Ketika mereka lapar tentu akan sensitif saat melihat orang lain begitu mudah melakukan praktik korupsi. Dalam satu teori, ketidakadilan merupakan kekerasan yang paling pertama dan akan melahirkan kekerasan-kekerasan berikutnya,” sesalnya.
Ia juga menyoroti perilaku politisi yang seolah-olah melakukan praktik ”beli-putus” suara rakyat saat pemilihan. Karena merasa sudah membeli, tak mengherankan bila setelah terpilih seolah tak ada lagi ikatan dengan rakyat.
”Uang menjadi utama. Maka penguasaan ekonomi juga menjadi utama, karena adanya uang dianggap dapat menyelesaikan semua masalah,” imbuh dia.
Persoalan perampasan buku yang diduga menjadi penyebab aksi massa beberapa waktu terakhir juga menjadi sorotan.
Ajak Masyarakat...
”Bisakah buku melahirkan pergerakan jika keadilan benar-benar terwujud? Maka sebenarnya sumbernya bukanlah buku melainkan ketidakadilan sendiri. Jadi jangan hanya menyalahkan rakyat,” ucap dia.
Meski begitu, Anis mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi. Terlebih di era perkembangan teknologi saat ini rawan menjamur narasi menyesatkan.
”Kemarin sempat ada deep fake yang menyerang Sri Mulyani. Ada fabrikasi kliper-kliper video tokoh-tokoh tertentu yang sengaja dibuat untuk memancing kemarahan rakyat dls. Maka, jika tidak hati-hati tentu kita akan termakan oleh pancingan semacam ini,” imbuh dia.
Anis mengajak seluruh elemen masyarakat untuk dapat menjaga kedaulatan pikirannya, lebih-lebih dalam bermedia sosial.
”Kita tergantung pada medsos karena terlalu banyak waktu luang. Bermedsos boleh saja untuk konsumsi hiburan, tapi dengan porsi yang tepat dan penggunaan yang bijak,” imbuh dia.
Ruang kontemplasi itu menjadi semakin hangat saat kelompok musik Sampak GusUran mengisi ngaji budaya tersebut. Tampak ribuan orang terlarut dalam diskusi yang digelar secara luring maupun lewat berbagai kanal media sosial Suluk Maleman. (nad)