Rabu, 19 November 2025

Murianews, Grobogan – Puluhan warga nekat untuk tinggal di tengah hutan selama puluhan tahun. Mereka pun rela dengan penerangan yang sangat terbatas. Usut punya usut, mereka memilih tinggal di hutan bukan tanpa alasan.

Beberapa warga terpaksa tinggal di tengah hutan lantaran terhimpit ekonomi. Sehingga mereka tidak bisa membeli lahan untuk mendirikan rumah.

Salah satunya adalah Sati. Nenek berusia 62 tahun itu mengaku terpaksa tinggal di tengah hutan karena orang tua tidak memiliki lahan. Mau tidak mau ia pindah ke hutan dan tinggal di sana sejak usia 10 tahun. 

”Sejak sekitar umur 10 tahun mungkin. Sekarang saya sudah 62 tahun. (Kenapa bertahan?) ya karena tidak punya tanah di perkampungan,” jelasnya kepada Murianews.com

Untuk penerangan, dia mengaku mengandalkan tenaga surya. Yang menjadi masalah ketika mendung atau hujan, maka mereka pun tanpa penerangan lampu. 

”Ini pakai tenaga surya, alatnya beli sendiri. Bisa bertahan semalam. Kalau hujan ya redup, tidak ada setrumnya,” katanya. 

Hal ini lantaran perkampunyan yang ditinggali Sati bersama 19 KK lainnya terpencil. Lokasinya berada di perbatasan Kecamatan Tanggungharjo dan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. Mereka yang tinggal di wilayah Tanggungharjo masuk di Dusun Rejosari, Desa Sugihmanik. 

Jarak perkampungan tersebut ke lingkungan warga yang ramai sekitar 2 hingga 5 kilometer dengan jalan setapak di pinggir rel. Akses terdekatnya justru ke wilayah Kedungjati dengan jarak sekitar 2 kilometer. 

Kadus Rejosari Saiman menerangkan, tanah yang ditinggali para warga merupakan milik PT Kereta Api Indonesia atau yang dulu bernama Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Namun, mereka yang masuk wilayah Rejosari hanya 5 keluarga. 

”Totalnya ada 19 KK, tetapi yang warga Rejosari hanya 5 KK, terdiri 16 orang. Yang lain masuk Kedungjati,” ungkapnya. 

Saiman menambahkan, warga tersebut sehari-hari bercocok tanam dengan menanam jagung di lahan milik Perhutani. Mereka menanam jagung dan hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. 

”Nanamnya jagung, tapi makannya ya tetap beras. Mereka lebih dekat ke Kedungjati, dibanding ke Sugihmanik,” imbuhnya. 

Saiman menambahkan, sebenarnya sebagian warga sudah memiliki tanah dan rumah di perkampungan warga yang ramai. Namun, mereka tetap memilih tinggal di tengah hutan. 

”Ada yang sudah beli tanah, punya rumah, tapi tetap bertahan di sana,” ujar dia. 

Editor: Supriyadi

Komentar

Berita Terkini

Terpopuler