Murianews, Jakarta – Perkembangan kecerdasaran buatan atau Artificial Intelligent (AI) yang terus ke depan menjadikan tantangan kerja cek fakta semakin berat.
Itu diungkapkan Bayu Galih, Editor cek Fakta Kompas.com dalam Indonesia Fact Checking Summit atau IFCS 2024 di Jakarta, Kamis (7/11/2024).
’’Kalau kita bicara ancaman, berbagai hoaks yang beredar di tahun terakhir, setidaknya yang menggunakan AI ini memperlihatkan bahwa memang AI ini masalah serius,’’ katanya.
Sebab, AI berpotensi mengelabui. Sebagai contoh beredarnya video Raffi Ahmad dan Najwa Shihab mempromosikan judi online.
’’Ketika pertama muncul, kalau kita lihat-lihat faktor fun lebih banyak di situ kan, Jokowi nyanyi Asmalibrasi, dan yang lebih lucu lagi adalah Jokowi bicara bahasa Cina atau Prabowo bicara bahasa Arab. Ketika dicek itu kan menggunakan AI,’’ ujarnya.
Kemudian, mengubah persepsi. Ini terjadi ketika pemimpin umat Katolik dunia Paus Fransiskus digambarkan menggunakan puffer Belinciaga.
’’Ini kan mengubah persepsi, bagaimana seorang tokoh umat agama, pemimpin umat Katolik di dunia digambarkan berpakaian mewah. Jadi persepsi yang dibentuk itu kan bermewah-mewahan. Ini juga berbahaya,’’ jelasnya.
Berikutnya, memalsukan peristiwa, sebelum akhirnya Donald Trump ditangkap, ada sebuah karya AI yang memalsukan penangkapan Donald Trump.
Potensi Bahaya
Potensi bahaya selanjutnya yakni, membentuk kabar bohong dan mengacaukan.
Menurutnya, perkembangan AI itu menjadi PR bagi para fact checker atau pencari fakta. Pekembangan itu tentu harus diikuti dengan peningkatan skill serta mengikuti perkembangan teknologi.
’’Kita tidak bisa mengandalkan salah satu tool saja,’’ ujarnya.
Ia pun mengungkapkan pengalamannya ketika mendapati sebuat suara Prabowo yang terdengar seperti buatan AI. Setelah menggunakan tool untuk mengetahui apakah itu AI atau bukan, hasilnya 97 persen.
’’Kan kita pengen nulis nih, tapi setelah didengar-dengar nih kayaknya Prabowo asli. Sampai tiga minggu kemudian itu bener ternyata suara Prabowo di TV One,’’ ungkapnya.
Bayu Galih juga mengingatkan agar tak begitu percaya dengan konten yang terlalu sempurna. Karena, justru yang terlihat sempurna itu bisa jadi ada banyak celah yang bisa memperlihatkan itu AI.
Belum ada Regulasi
Menurutnya, masih banyak ruang yang perlu dikembangkan. Pertama, saat ini belum ada regulasi yang belum jelas.
’’Seperti apa pemerintah mengatur soal AI apalagi terkait hak cipta dan segala macamnya atau terkait potensi mengelabui dan lain-lainnya,’’ ujarnya.
Kemudian, teknologinya masih berkembang. Saat ini belum ada penggunaan AI untuk Debunking Hoaks.
’’Bisa jadi suatu saat nanti akan dikembangkan,’’ ujarnya.
Sebab, kerja-kerja cek fakta butuh banyak banytuan ahli, terutama ahli-ahli komputasi untuk debunking AI.
’’Karena yang namanya kerja-kerja cek fakta ini, kita bukan kompetisi tapi kolaborasi. Dan, ini menjadi ruang buat kita bersama-sama mengatasi ruang celah di sini,’’ pungkasnya.