Wihadi menyatakan, kebijakan ini diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP) selama periode legislatif 2019-2024. Sampai akhirnya baru disetujui pada akhir tahun 2024 ini.
Wihadi, yang berasal dari Fraksi Gerindra, juga mengingatkan bahwa Panitia Kerja (Panja) pembahasan UU HPP saat itu dipimpin oleh Fraksi PDIP. Oleh sebab itu, ia menilai langkah PDIP yang kini meminta penundaan penerapan kenaikan PPN sebagai bentuk ketidakkonsistenan.
"Jika sekarang pihak PDIP meminta penundaan, ini terlihat seperti menyudutkan pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Padahal, UU HPP adalah produk DPR periode sebelumnya yang diinisiasi PDIP," ujar Wihadi.
Wihadi selanjutnya mengkritik sikap PDIP yang dianggapnya sebagai upaya "melempar bola panas" kepada pemerintahan saat ini. Pemerintahan Prabowo akhirnya harus menghadapi ’bola panas’ ini.
"Sikap ini mencerminkan upaya untuk menghindar. Jika ingin mendukung pemerintahan, sebaiknya dilakukan dengan cara yang konsisten. Namun, jika memilih untuk menjadi oposisi, itu adalah hak mereka," tambahnya.
Murianews, Jakarta — Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI (Banggar DPR RI), Wihadi Wiyanto, mengungkapkan bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen merupakan hasil dari Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Wihadi menyatakan, kebijakan ini diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP) selama periode legislatif 2019-2024. Sampai akhirnya baru disetujui pada akhir tahun 2024 ini.
"Kenaikan PPN 12 persen adalah keputusan yang dirancang dalam UU HPP. Kenaikan ini dilakukan secara bertahap, dimulai dari 11 persen pada 2022 hingga mencapai 12 persen pada 2025. Kebijakan tersebut merupakan inisiatif PDI Perjuangan," jelas Wihadi dilansir Antara, Minggu (22/12/2024).
Wihadi, yang berasal dari Fraksi Gerindra, juga mengingatkan bahwa Panitia Kerja (Panja) pembahasan UU HPP saat itu dipimpin oleh Fraksi PDIP. Oleh sebab itu, ia menilai langkah PDIP yang kini meminta penundaan penerapan kenaikan PPN sebagai bentuk ketidakkonsistenan.
"Jika sekarang pihak PDIP meminta penundaan, ini terlihat seperti menyudutkan pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Padahal, UU HPP adalah produk DPR periode sebelumnya yang diinisiasi PDIP," ujar Wihadi.
Wihadi selanjutnya mengkritik sikap PDIP yang dianggapnya sebagai upaya "melempar bola panas" kepada pemerintahan saat ini. Pemerintahan Prabowo akhirnya harus menghadapi ’bola panas’ ini.
"Sikap ini mencerminkan upaya untuk menghindar. Jika ingin mendukung pemerintahan, sebaiknya dilakukan dengan cara yang konsisten. Namun, jika memilih untuk menjadi oposisi, itu adalah hak mereka," tambahnya.
Wihadi...
Wihadi menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan kenaikan PPN tidak membebani masyarakat menengah ke bawah. Salah satu upayanya adalah dengan membatasi penerapan kenaikan PPN hanya pada barang-barang mewah.
"Presiden Prabowo memahami pentingnya menjaga daya beli masyarakat kecil dan menengah. Langkah ini dilakukan untuk menghindari gejolak ekonomi dan menunjukkan kebijakan yang bijaksana," terang Wihadi.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan bagian dari UU HPP yang bertujuan menyelaraskan sistem perpajakan guna meningkatkan pendapatan negara. Peningkatan tarif ini dilakukan bertahap, mulai dari 11 persen pada 2022 hingga 12 persen pada 2025.
Namun, kebijakan ini belakangan mendapat sorotan. Terutama dari PDIP, partai pimpinan Megawati Soekarno Putri saat ini justru mendorong penundaan penerapannya.
Kenaikan PPN menjadi isu politik di tengah dinamika hubungan antara partai penguasa dan oposisi. Pemerintahan Prabowo dihadapkan pada tantangan menjaga stabilitas ekonomi sekaligus melindungi daya beli masyarakat.