Setelah sebelumnya, mereka mendirikan tenda dan bermalam di halaman Kantor Pertanahan (Kantah) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pati sejak Senin (10/2/2025).
Para petani kompak menggunakan caping tani bercat merah putih dan bertuliskan ”Petani Pundenrejo”. Mereka menuntut tanah seluas 7, 3 hektare di desa tersebut untuk diserahkan kepada para petani.
Para petani tak mau proses hak guna bangunan (HGB) kembali diberikan kepada PT Laju Laju Perdana Indah (LPI). Sebelumnya, perusahaan yang mengelola PG Pakis itu mendapatkan HGB dan berakhir pada tahun 2024 lalu.
Massa aksi pun meminta kepada DPRD Kabupaten Pati dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati untuk membela mereka. Para petani mengklaim tanah tersebut merupakan tanah nenek moyang mereka.
Konflik agraria ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun hingga saat ini, konflik berkepanjangan tak kunjung menemukan titik terang.
Murianews, Pati – Konflik lahan di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati masih berlarut-laruh. Petani Pundenrejo pun kembali menggelar demonstrasi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati, Rabu (12/2/2025).
Puluhan petani yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun) itu berbondong-bondong ke gedung wakil rakyat sekitar pukul 11.00 WIB.
Setelah sebelumnya, mereka mendirikan tenda dan bermalam di halaman Kantor Pertanahan (Kantah) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pati sejak Senin (10/2/2025).
Para petani kompak menggunakan caping tani bercat merah putih dan bertuliskan ”Petani Pundenrejo”. Mereka menuntut tanah seluas 7, 3 hektare di desa tersebut untuk diserahkan kepada para petani.
Para petani tak mau proses hak guna bangunan (HGB) kembali diberikan kepada PT Laju Laju Perdana Indah (LPI). Sebelumnya, perusahaan yang mengelola PG Pakis itu mendapatkan HGB dan berakhir pada tahun 2024 lalu.
Massa aksi pun meminta kepada DPRD Kabupaten Pati dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati untuk membela mereka. Para petani mengklaim tanah tersebut merupakan tanah nenek moyang mereka.
”Warga tidak terima karena ini tanah nenek moyang warga Pundenrejo, kenapa perusahaan ingin menguasai 7,3 hektare,” ujar salah satu koordinator aksi, Sarmin.
Konflik agraria ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun hingga saat ini, konflik berkepanjangan tak kunjung menemukan titik terang.
Tanah Moyang...
Para petani itu mengkalim jika tanah tersebut sudah digunakan nenek moyang mereka untuk bertahan pada awal-awal kemerdekaan. Namun usai tragedi 1965 meletus, tanah tersebut ditampas oleh aparat.
Warga yang masih melawan dan enggan menyerahkan tanahnya bakal dicap sebagai simpatisan bahkan anggota partai terlarang, Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini membuat petani terpaksa merelakan tanahnya.
Pada tahun 1973, tiba-tiba tanah tersebut sudah dikuasai Badan Pimpinan Rumpun Diponegoro (Bapipundip) usai mendapatkan HGB hingga 1994.
Perizinan itu kemudian terus diperpanjang hingga lembaga tersebut bangkrut pada awal Reformasi. Tutupnya lembaga ini membuat petani kembali berani menguasai lahan tersebut pada awal tahun 2000-an
Tetapi, ternyata PT LPI sudah mengantongi HGB dan berakhir pada tahun 2024. Hal ini membuat, petani tak leluasa menanam di lahan pertaniannya. Mereka mengaku sering mendapatkan intimidasi.
Editor: Cholis Anwar