Hal ini diungkapkan oleh perwakilan Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun), Sarmin yang saat ini masih melancarkan demonstrasi di halaman Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pati.
Puluhan petani menggelar unjuk rasa menuntut agar lahan seluas 7,3 hektare di desa tersebut tak diberikan kepada PT Laju Perdana Indah (LPI) atau PG Pakis.
Saat ini, PT tersebut mengajukan perpanjangan hak guna bangunan (HGB) untuk kembali menguasai lahan tersebut.
Namun, langkah ini mendapatkan perlawanan dari para petani. Mereka sering menggelar demonstrasi agar BPN Pati tak mengabulkan permintaan PT LPI. Petani juga meminta kepada BPN untuk menyerahkan tanah tersebut kepada mereka.
Pasalnya, para petani mengklaim tanah tersebut merupakan milik nenek moyang yang dirampas usai tragedi 1965.
Berdasarkan versi petani, saat itu tanah nenek moyang mereka diserobot. Bila tak menyerahkan mereka bakal dituduh sebagai anggota partai terlarang, PKI.
Para petani kembali menanam lahan tersebut pada awal masa reformasi. Beberapa di antara mereka juga mendirikan rumah. Setidaknya saat ini sudah ada sekitar 12 rumah yang didirikan di lahan tersebut.
Murianews, Pati – Konflik tanah agraria di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah tak hanya mengancam lahan pertanian. Setidaknya 12 rumah warga juga terancam ikut digusur.
Hal ini diungkapkan oleh perwakilan Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun), Sarmin yang saat ini masih melancarkan demonstrasi di halaman Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pati.
Puluhan petani menggelar unjuk rasa menuntut agar lahan seluas 7,3 hektare di desa tersebut tak diberikan kepada PT Laju Perdana Indah (LPI) atau PG Pakis.
Saat ini, PT tersebut mengajukan perpanjangan hak guna bangunan (HGB) untuk kembali menguasai lahan tersebut.
Namun, langkah ini mendapatkan perlawanan dari para petani. Mereka sering menggelar demonstrasi agar BPN Pati tak mengabulkan permintaan PT LPI. Petani juga meminta kepada BPN untuk menyerahkan tanah tersebut kepada mereka.
Pasalnya, para petani mengklaim tanah tersebut merupakan milik nenek moyang yang dirampas usai tragedi 1965.
Berdasarkan versi petani, saat itu tanah nenek moyang mereka diserobot. Bila tak menyerahkan mereka bakal dituduh sebagai anggota partai terlarang, PKI.
Para petani kembali menanam lahan tersebut pada awal masa reformasi. Beberapa di antara mereka juga mendirikan rumah. Setidaknya saat ini sudah ada sekitar 12 rumah yang didirikan di lahan tersebut.
Konflik lama…
”Yang membangun di sana warga, sekitar 12 keluarga. Dulu 12 warga tersebut diintimidasi diminta menyatakan itu tanah LPI. Itu tahun 2020,” tutur Sarmin.
Salah satu warga yang tinggal di lahan konflik tersebut adalah, Uut Muthoharoh. Ia bersama keluarga kecilnya saat ini mempunyai rumah satu-satunya di lahan konflik tersebut. Rumahnya pun terancam ikut kegusur bila lahan tersebut diserahkan ke PT LPI.
”Rumah saya luasnya, 4 meter × 8 meter terancam digusur. Dulu rumah kakek berdinding gedek (anyaman bambu). Terus dirubuhkan sama LPI. Sekarang didirikan pakai kasibot. Sudah lama konfliknya. Sekarang LPI masih menanam tebu. Kemarin petani juga ikut nanam pisang dan ketela tapi dirusak LPI,” tandas dia.
Editor: Supriyadi