Dalam diskusi itu dijelaskan, ada beberapa ancaman digital, yakni serangan virus atau malware, penipuan online atau phishing, peretasan dan doxing. Kemudian, pemalsuan, pelecehan, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Berdasarkan data SAFEnet, tercatat 480 kasus kekerasan berbasis gender online pada triwulan 1 2024. Angka itu meningkat empat kali libat dibandung tahun sebelumnya yakni 118 kasus.
Sementara berdasarkan data UNICEF, sekitar 500 ribu dari 95 persen anak usia 12-17 tahun di Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual dan perlakuan menyimpang di dunia maya.
Kemudian, berdasarkan riset SEJIWA dan Western Sydney University banyak remaja yang ingin mendapat bimbingan dalam bentuk kreatif dan menyenangkan tentang cara agar mereka aman di ruang digital.
Penelitian itu menyasar pada remaja 13-18 tahun di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam,
”Rupanya sebenarnya remaja itu ingin loh, untuk mendapatkan bimbingan dalam bentuk yang kreatif komunikasi yang menyenangkan ringan dan segar tentang cara agar mereka tetap bisa merasa aman di ruang digital,” kata Communication Director TikTok Indonesia Anggini Setiawan.
Murianews, Kudus – Pelecehan di ruang digital atau pelecehan online menjadi ancaman serius bagi remaja Indonesia. Itu terungkap dalam workshop bertema ”Keamanan Digital bagi Remaja” yang digelar AMSI dengan TikTok, Jumat (31/1/2025) lalu.
Dalam diskusi itu dijelaskan, ada beberapa ancaman digital, yakni serangan virus atau malware, penipuan online atau phishing, peretasan dan doxing. Kemudian, pemalsuan, pelecehan, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Berdasarkan data SAFEnet, tercatat 480 kasus kekerasan berbasis gender online pada triwulan 1 2024. Angka itu meningkat empat kali libat dibandung tahun sebelumnya yakni 118 kasus.
Remaja usia 18-25 tahun menjadi korban terbanyak dengan jumlah 272 kasus atau 57 persen dari data tersebut. Sementara anak di bawah 18 tahun menjadi korban terbanyak kedua dengan 123 kasus atau 28 persennya.
Sementara berdasarkan data UNICEF, sekitar 500 ribu dari 95 persen anak usia 12-17 tahun di Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual dan perlakuan menyimpang di dunia maya.
Kemudian, berdasarkan riset SEJIWA dan Western Sydney University banyak remaja yang ingin mendapat bimbingan dalam bentuk kreatif dan menyenangkan tentang cara agar mereka aman di ruang digital.
Penelitian itu menyasar pada remaja 13-18 tahun di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam,
”Rupanya sebenarnya remaja itu ingin loh, untuk mendapatkan bimbingan dalam bentuk yang kreatif komunikasi yang menyenangkan ringan dan segar tentang cara agar mereka tetap bisa merasa aman di ruang digital,” kata Communication Director TikTok Indonesia Anggini Setiawan.
Komitmen Tegas TikTok...
Pihaknya sendiri berkomitmen untuk menyediakan wadah yang aman bagi remaja. Salah satunya yakni dengan memberikan batasan ketat sesuai dengan kelompok umur penggunanya.
Bahkan, TikTok telah menghapus lebih dari 66 juta akun sepanjang Januari-September 2024. Akun tersebut dihapus karena diduga digunakan anak berusia di bawah 13 tahun.
”Jadi kami sangat serius unutk menegakkan kebijakan kami sendiri, yakni kebijakan batas usianya,” katanya.
Sementara itu, Diana Heryanto dari Sejiwa mengungkapkan alasan para remaja bisa begitu rawan di ruang digital. Pertama yakni, karakteristik para remaja.
Ia menjelaskan, para remaja itu swing mood atau mudah terbawa perasaan alias baper. Selain itu, mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tapi juga impulsif.
”Jadi kalau mereka ingin melakukan sesuatu itu, kalau bahasa jawanya tuh sak dek sak nyet, atau melakukan sesuatu itu tanpa mikir panjang,” ujarnya.
Karakter Impulsif...
Karakter impulsif itu yang membuat remaja rentan berada di ruang digital. Selain itu, karakter swing mood dari para remaja juga membuat mereka jadi korban cyber bullying.
”Karena mereka tadi impulsif kadang-kadang begitu ada masalah apa begitu langsung dia bikin komen dan enggak berpikir bahwa komen itu bisa menyakitkan orang lain dan berpotensi menjadi bullying Saber bullying buat orang lain,” jelasnya.
Mereka juga tidak sadar tentang jejak digital dan berpotensi berdampak pada masa depan mereka nantinya. Tak hanya itu, karakteristik tersebut juga memudahkan mereka menjadi korban penipuan.
”Nah ini bahaya sekali untuk keamanan dia. Itulah sebabnya, kita penting sekali memberikan literasi baik kepada anak remaja begitu eh maupun kepada para orang tua itu,” ujarnya.
Dari sisi orang tua, Diana juga mengungkapkan masih banyak yang belum memiliki pemahaman tentang literasi digital. Padahal, ia melanjutkan, peranan orang tua sangat penting dalam mengontrol penggunaan media sosial pada anak.
”Nah itulah segala macam risiko terjadi pada anak-anak kita,” katanya.